Saat Bermigrasi Penutur Bahasa Austronesia Menapaki Jejak di Papua

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 21 Februari 2024 | 10:00 WIB
Fragmen gerabah motif buaya dari temuan di Situs Yope, Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Kerajinan gerabah masa lalu ini dipengaruhi oleh migrasi penutur bahasa Austronesia yang singgah ke Papua. (Hari Suroto/BRIN)

Penduduk Kampung Abar berkisah, dahulu terdapat bangsa yang datang dari timur dan "menakutkan". Bangsa yang datang ini memperkenalkan penduduk kampung cara pembuatan gerabah dan tembikar.

Gerabah yang dibuat oleh perajin dari Kampung Abar, Kabupaten Jayapura, Papua. Pengetahuan masyarakat mengenai pembuatan gerabah ini berhubungan dengan interaksi purbakala dengan penutur bahasa Austronesia di Papua. (Hari Suroto)

Penduduk Kampung Abar pun mengadopsi peralatan ini di masa lalu saat bermukim di Situs Khulutiyauw, sampai akhirnya mereka berpindah ke lokasi yang ada saat ini. Mitologi ini juga didukung dengan temuan gerabah dan tembikar di situs.

Erlin juga menemukan temuan tembikar di sekitar Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Erlin dan Hari menduga bahwa kebenaran mitologi "bangsa yang datang dari arah timur" memiliki nilai sejarah tentang pengaruh kedatangan penutur bahasa Austronesia.

Para peneliti memperkirakan bahwa penutur Austronesia memberikan pengaruhnya di pesisir, seperti di Teluk Youtefa. Dalam kasus di Danau Sentani yang berada di barat Teluk Youtefa, suku yang memperkenalkan gerabah dan tembikar bergerak ke tempat yang lebih dalam.

Meski demikian, hasil penelitian ini harus diperdalam lebih lanjut, kata Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN Obing Katubi yang tidak terlibat dalam studi.  "Sampai sekarang juga masih menjadi perdebatan ya sebetulnya bagaimana penyebaran bahasa Austronesia di wilayah Papua, termausk Halmahera dan Raja Ampat," lanjutnya.

Temuan oleh Erlin dan Hari mengenai penyebaran bahasa Austronesia di Papua dilakukan berdasarkan temuan situs dan artefak. Sementara, Obing berpendapat, perlu ada juga kajian secara kebahasaan, kebudayaan, dan genetika, untuk bisa menyimpulkan laju dan arah pergerakan pengaruh penutur bahasa Austronesia di Papua.

"Ada banyak yang situs-situsnya itu [terdapat] artefak penutur bahasa Asutronesia tetapi bahasanya tetap non-Austronesia," ujar Obing. Hal itu menjadi pertanyaan "mana yang lebih dulu, siapa yang mendesak siapa" di sekitar Papua dan Indonesia timur.

Dalam pengamatannya, Obing menuturkan bahwa kasus di Halmahera yang terjadi adalah kawasan penutur bahasa Austronesia tersebut memiliki ciri non-Austronesia. Dengan demikian, kedua komunitas penutur bahasa yang berbeda bisa saling memengaruhi, baik secara kebahasaan maupun kebudayaan.

Peta persebaran penutur bahasa Austronesia dan dan Austroasiatik di Indonesia. Penutur bahasa Austronesia bermigrasi keluar dari Taiwan, melalui Filipina, melalui pesisir utara Papua, dan ke seluruh Samudra Pasifik. (Philip Piper/ Peter Bellwood/Truman Simajuntak)

"Karena kalau kita lihat, sampai sekarang ibaratnya dengan drone lalu dipotret dari atas, komunitas-komunitas bahasa non-Austronesia itu biasa seperti menjadi di tengah-tengah kawasan atau intim, dikepung oleh komunitas-komunitas bahasa Austronesia," ungkapnya.

"Jangan-jangan, bahasa mereka memang Austronesia tetapi kekerabatan mereka sebetulnya mempertahankan sistem kekerabatan non-Austronesia," lanjut Obing.

Terdapat kasus unik yang semestinya digali secara kebahasaan tentang hubungan rumpun bahasa Austronesia dan non-Austronesia. Obing menemukan kasus tentang bahasa-bahasa bernada (tonal language) yang merupakan ciri non-Austronesia di Raja Ampat seperti di Misool, Salawati, dan Waigeo. Uniknya, bahasa-bahasa ini memiliki kosa kata serupa Austronesia.

Obing mengapresiasi hasil riset yang dilakukan Erlin dan Hari. Menurutnya, penelitian ini memetakan pengaruh kebudayaan dan bahasa untuk pelestarian bahasa. 

Papua diketahui memiliki kekayaan bahasa, namun beberapa di antaranya telah punah dan yang tersisa terancam kepunahan akibat sedikitnya penutur. Obing berpendapat, penyebab kepunahan bahasa adalah isu sosial yang sedang dihadapi di Papua seperti kewajiban penggunaan bahasa Melayu-Papua atau masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa ibu mereka.

"Ini sangat penting untuk mendokumentasikan bahasa-bahasa sebelum bahasa punah," kata Obing.  "Kita harus mecatat atau mengabadikan bahasa-bahasa itu supaya mencegah punah atau dipelajari setelah punah."