Nationalgeographic.co.id—Antara 4.000 dan 3.000 tahun yang lalu, penutur bahasa Austronesia berlayar dari Taiwan. Migrasi ini berlangsung masif dengan menyisiri kepulauan yang hari ini disebut Filipina, sampai akhirnya berinteraksi dengan masyarakat yang sudah ada di Papua.
Di Papua, penutur bahasa yang berbeda telah lama dimukim. Secara genetik, penutur bahasa Papua merupakan etnis Melanesia yang telah menghuni pulau terbesar kedua di dunia itu sejak 50.000 tahun silam.
Migrasi penutur bahasa Austronesia memberikan pengaruh kepada kebudayaan Papua. Hal itu terungkap dengan berbagai temuan peninggalan kebudayaan yang sangat signifikan di pesisir paling barat–seperti Raja Ampat, pesisir utara Pulau Papua, dan kepulauan sekitarnya seperti Biak dan Britania Baru.
“Jadi ada dua bahasa di Papua. Itu istilah induknya itu bahasa Austronesia dan bahasa non-Austronesia–dikenal dengan bahasa Papua,” jelas Hari Suroto, peneliti di Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Manado.
“Ciri khasnya kalau Austronesia itu strukturnya seperti bahasa Indonesia pada umumnya: S-P-O, misalnya ‘Saya makan ubi’. Kalau bahasa non-Austronesia atau bahasa Papua itu biasanya S-O-P–’saya ubi makan’. Jadi memang seperti bahasa Inggris.”
Pada 2023, Hari menjadi rekan peneliti untuk makalah bertajuk “Distribution of Austronesian languages and archaeology in Western New Guinea, Indonesia” di jurnal L’anthropologie. Penulis pertamanya adalah Erlin Novita Idje Djami, peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Sejarah dan Prasejarah BRIN Jayapura.
Berdasarkan temuan Erlin dan Hari, migrasi penutur bahasa Austronesia sekitar 3.000 tahun silam mungkin singgah atau sempat membangun koloni di Papua. Kemudian, persinggahan itu membuat membuat mereka berinteraksi dengan penduduk yang sudah lebih lama menetap di Papua.
Penelitian ini memetakan pengaruh penutur bahasa Austronesia di Papua berdasarkan temuan artefak di beberapa situs sepanjang pesisir Papua dan kepulauan sekitar. “Paling kuat buktinya adalah gerabah atau tembikar,” jelas Hari.
“[Pengaruh] yang lainnya itu lebih ke pengetahuan, seperti mampu berlayar dengan navigasi jarak jauh," terang Hari. Misalnya, masyarakat Papua di Biak dan Yapen mengenal teknologi kapal yang memiliki haluan dan buritan. Ini juga yang membuat suku Biak dikenal sebagai "viking dari Papua".
Kapal dengan fitur haluan dan buritan, ungkap Hari, hanya bisa berkembang akibat pengaruh pentur bahasa Austronesia. Berbeda dengan Papua di pedalaman seperti di Merauke dan kawasan Pegunungan yang mengenal perahu sederhana, dari batang pohon yang dilubangi.
Pertemuan dengan penutur bahasa Austronesia ini juga didukung dengan mitologi sejarah oleh penduduk Papua hari ini. Salah satunya, dalam temuan Hari, adalah masyarakat di sekitar Danau Sentani yang meyakini bahwa leluhur mereka berasal dari timur "tempat matahari terbit". Mereka memperkenalkan peralatan seperti tembikar.
Tahun 2021, temuan-temuan Balai Arkeologi Papua dipublikasikan dalam buku Jejak Kehidupan Prasejarah di Sentani yang dieditori Roberthus Yewen. Dalam catatan tersebut, Hari menemukan mitologi lainnya yang dituturkan penduduk Kampung Abar, Kabupaten Jayapura.
Penduduk Kampung Abar berkisah, dahulu terdapat bangsa yang datang dari timur dan "menakutkan". Bangsa yang datang ini memperkenalkan penduduk kampung cara pembuatan gerabah dan tembikar.
Penduduk Kampung Abar pun mengadopsi peralatan ini di masa lalu saat bermukim di Situs Khulutiyauw, sampai akhirnya mereka berpindah ke lokasi yang ada saat ini. Mitologi ini juga didukung dengan temuan gerabah dan tembikar di situs.
Erlin juga menemukan temuan tembikar di sekitar Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Erlin dan Hari menduga bahwa kebenaran mitologi "bangsa yang datang dari arah timur" memiliki nilai sejarah tentang pengaruh kedatangan penutur bahasa Austronesia.
Para peneliti memperkirakan bahwa penutur Austronesia memberikan pengaruhnya di pesisir, seperti di Teluk Youtefa. Dalam kasus di Danau Sentani yang berada di barat Teluk Youtefa, suku yang memperkenalkan gerabah dan tembikar bergerak ke tempat yang lebih dalam.
Meski demikian, hasil penelitian ini harus diperdalam lebih lanjut, kata Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN Obing Katubi yang tidak terlibat dalam studi. "Sampai sekarang juga masih menjadi perdebatan ya sebetulnya bagaimana penyebaran bahasa Austronesia di wilayah Papua, termausk Halmahera dan Raja Ampat," lanjutnya.
Temuan oleh Erlin dan Hari mengenai penyebaran bahasa Austronesia di Papua dilakukan berdasarkan temuan situs dan artefak. Sementara, Obing berpendapat, perlu ada juga kajian secara kebahasaan, kebudayaan, dan genetika, untuk bisa menyimpulkan laju dan arah pergerakan pengaruh penutur bahasa Austronesia di Papua.
"Ada banyak yang situs-situsnya itu [terdapat] artefak penutur bahasa Asutronesia tetapi bahasanya tetap non-Austronesia," ujar Obing. Hal itu menjadi pertanyaan "mana yang lebih dulu, siapa yang mendesak siapa" di sekitar Papua dan Indonesia timur.
Dalam pengamatannya, Obing menuturkan bahwa kasus di Halmahera yang terjadi adalah kawasan penutur bahasa Austronesia tersebut memiliki ciri non-Austronesia. Dengan demikian, kedua komunitas penutur bahasa yang berbeda bisa saling memengaruhi, baik secara kebahasaan maupun kebudayaan.
"Karena kalau kita lihat, sampai sekarang ibaratnya dengan drone lalu dipotret dari atas, komunitas-komunitas bahasa non-Austronesia itu biasa seperti menjadi di tengah-tengah kawasan atau intim, dikepung oleh komunitas-komunitas bahasa Austronesia," ungkapnya.
"Jangan-jangan, bahasa mereka memang Austronesia tetapi kekerabatan mereka sebetulnya mempertahankan sistem kekerabatan non-Austronesia," lanjut Obing.
Terdapat kasus unik yang semestinya digali secara kebahasaan tentang hubungan rumpun bahasa Austronesia dan non-Austronesia. Obing menemukan kasus tentang bahasa-bahasa bernada (tonal language) yang merupakan ciri non-Austronesia di Raja Ampat seperti di Misool, Salawati, dan Waigeo. Uniknya, bahasa-bahasa ini memiliki kosa kata serupa Austronesia.
Obing mengapresiasi hasil riset yang dilakukan Erlin dan Hari. Menurutnya, penelitian ini memetakan pengaruh kebudayaan dan bahasa untuk pelestarian bahasa.
Papua diketahui memiliki kekayaan bahasa, namun beberapa di antaranya telah punah dan yang tersisa terancam kepunahan akibat sedikitnya penutur. Obing berpendapat, penyebab kepunahan bahasa adalah isu sosial yang sedang dihadapi di Papua seperti kewajiban penggunaan bahasa Melayu-Papua atau masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa ibu mereka.
"Ini sangat penting untuk mendokumentasikan bahasa-bahasa sebelum bahasa punah," kata Obing. "Kita harus mecatat atau mengabadikan bahasa-bahasa itu supaya mencegah punah atau dipelajari setelah punah."