Puntung Rokok di Pesisir Perlu Perhatian dalam Perangi Sampah Plastik Laut

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 23 Februari 2024 | 16:08 WIB
Sampah puntung rokok mengandung racun akut bagi kehidupan laut dan pesisir. Menjelang kesepakatan sampah plastik di Ottawa, Kanada, pada April 2024, isu ini harus dibawa oleh Indonesia agar menuntaskannya secara global. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Permasalahan sampah tengah menjadi perhatian oleh pemerintah Indonesia yang harus ditangani. Berdasarkan laporan World Bank, Indonesia menjadi negara penghasil sampah laut nomor lima di dunia pada 2021.

Peringkat ini sebenarnya turun dari peringkat sebelumnya pada 2015, di mana Indonesia berada di dalam nomor 2 sebagai penghasil sampah tertinggi.

Salah satu penurunan ini disebabkan komitmen pemerintah untuk mengurangi sampah melalui Perpres No. 83 tahun 2018. Peraturan ini menargetkan agar sampah laut berkurang 70 persen dengan target di tahun 2025. 

"Terkait masalah sampah laut, kita ketahui kalau sampah plastik adalah satu permasalahan yang sebenarnya baru timbul lebih banyak [dibahas] setelah 20 tahun terakhir," kata Muhammad Reza Cordova, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Kalau sebelum 20 tahun terakhir ini, kita menganggap sampah plastik sebagai sampah yang hanya masalah estetika. Ternyata, tidak seperti itu yang terjadi, karena kita ketahui bahwa ada banyak masalah yang ditimbulkan dari sampah plastik," lanjutnya dalam seminar yang diadakan oleh Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL) di Jakarta, 22 Februari 2023.

Seminar tersebut bertajuk "Towards International Legally Binding Instrument on Plastic Pollution including in the Marine Environment". Penyelenggaraannya bertepatan dengan Hari Sampah Nasional, sekaligus menyepakati kerja sama antara Indonesia, Kanada, dan Norwegia dalam penanganan sampah laut di Indonesia.

Lebih lanjut, Reza mengatakan bahwa permasalahan sampah plastik menjadi sangat krusial. Ada banyak kerusakan ekologi laut yang berhubungan dengan sampah plastik, misalnya temuan paus terdampar di Wakatobi pada 2018 yang di dalam perutnya terdapat sampah plastik.

Belum lagi sampah plastik juga menjadi ancaman karena partikel berukuran mikro atau mikroplastik bisa tersebar di mana-mana. Reza menjelaskan bahwa dalam risetnya, mikroplastik tidak hanya mencemari darat dan laut, melainkan juga udara melalui pembakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Puntung rokokMenurut laporan Statista Consumer Insights pada 2021, sekitar 112 juta orang di Indonesia adalah perokok. Jumlahnya akan bertambah dengan proyeksi total 123 juta orang pada 2030--lima tahun setelah target rencana berkurang sampah plastik 2025.

Ocean Conservacy mendata bahwa ada sekitar 1,1 juta unit sampah puntung rokok di pesisir global pada 2021. Sementara itu, dengan besarnya jumlah perokok di Indonesia, puntung rokok merupakan salah satu dari 10 jenis sampah plastik yang banyak ditemui di pesisir Indonesia.

April mendatang, ada pertemuan global di Ottawa, Kanada yang membahas kesepakatan plastik. Reza berpendapat, masalah sampah plastik jenis puntung rokok harus dibawa ke dalam forum internasional tersebut oleh Indonesia. 

"Puntung rokok itu sampai hari ini belum ada sama sekali yang menengok," terang Reza. "Ini harus diperhatikan."

Setiap tahunnya, puntung rokok mengandung berbagai bahan kimia yang bisa berdampak pada kesehatan dan ekosistem, sehingga termasuk jenis sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pengendalian terhadap tembakau atau kontrol terhadap sampah puntung rokok dapat mengurangi polusi dan tingkat racun di laut demi keberlangsungan ekosistem.

"Karena sampah ini masalah global, jadi kita perlu ada kerja sama secara regional dan global, termasuk yang dilakukan untuk pengetahuan di bulan April nanti," tutur Reza.

Membangun infrastruktur sampahPuntung rokok dan berbagai jenis sampah plastik lainnya sebenarnya dapat ditangani baik oleh pemerintah Indonesia melalui penyediaan infrastruktur yang memadai dan meluas.

Sampai saat ini, pemerintah tengah melakukan perubahan paradigma agar sampah tidak hanya dikirim dari sumber ke TPA. Sampah dipilih, dan hanya residu yang tidak bisa diolah untuk dibuang ke TPA. Reza menyatakan, langkah tersebut sudah baik, namun masih kurang untuk memenuhi target 2025 dan harus dioptimalkan.

Selama ini sampah plastik yang ada di laut menimbulkan kerugian secara ekonomi sekitar Rp 250 triliun, kata Reza. "Angka yang sangat besar sekali bahkan lebih besar daripada anggaran kesehatan Republik Indonesia. Itu sangat mengganggu sistem ekonomi negara kita," lanjutnya.

Oleh karena itu, Reza menganjurkan untuk penanganan sampah plastik di laut diselesaikan dengan infrastruktur yang memadai. 

Sejauh ini, industri daur ulang sebagai infrastruktur yang menangani sampah hanya terpusat di Pulau Jawa dan Bali. Di daerah-daerah lain, pendauran ulang masih sangat minim dan kekurangan industri. Padahal sampah plastik di laut dan pesisir tersebar dan terbawa oleh arus laut ke pulau-pulau lainnya di Indonesia.

"Daripada kita membuang 250 triliun sekian lebih baik kita membangun infrastruktur untuk sampah," kata Reza.