Meringkus Sindikat Uang Palsu di Landhuis Pondok Cina

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 25 Februari 2024 | 15:03 WIB
Rumah berarsitektur gaya Hindia ini dimiliki oleh Lauw Tek Lok, kemudian diwariskan kepada putranya bernama Kapitan Cina Lauw Tjeng Siang. Seharusnya rumah yang diperkirakan dibangun awal atau pertengahan abad ke-19 menjadi tengara Pondok Cina, Kota Depok. Kendati wajahnya bersolek kembali, pembangunan di sekitar rumah itu telah meredupkan pamornya. (Utomo Priambodo/National Geographic Indonesia)

Surat kabar asal Surakarta, De nieuwe vorstenlanden edisi 5 Mei 1902, mewartakan "Jaksa penuntut umum di Batavia berangkat pada pagi hari yang dingin, didampingi oleh penyidik Hinue dan Calmer, dengan kereta pertama menuju Pondok Tjina untuk melakukan penggeledahan di landhuis yang terletak di sana, milik Kapiten Cina Lauw Tjeng Siang yang saat ini berada dalam penahanan."

Namun pada edisi 9 Mei 1902, De nieuwe vorstenlanden mewartakan yang sesungguhnya bahwa "penggeledahan tidak dilakukan di landhuis, melainkan di sebuah rumah yang terletak di atas tanah yang belum pernah digeledah sebelumnya dan di mana, sesuai instruksi terdakwa Schmidt, produksi uang kertas palsu telah dilakukan."

"Penggeledahan yang dilakukan terbukti berhasil," tulis surat kabar itu. "Di rumah yang dituju, ditemukan tempat kerja yang sepenuhnya sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh Schmidt. Namun, bukti-bukti yang meyakinkan tidak ditemukan."

Toponimi Pondok Cina

Toponimi Pondok Cina sudah disebut dalam catatan seorang pegawai VOC, Kapten Jan Adolph Winkler, pada 1697, demikian menurut Pater Adolf Heuken dalam buku babon Historical Sites of Jakarta. Tidak ada catatan lebih awal lagi selain kabar dari Winkler yang mengungkapkan bahwa  pemiliknya seorang Cina.  

Lilie Suratminto, ahli lingusitik dan pengajar senior pada Program Studi Bahasa Belanda di FIB-UI, pernah berkata kepada National Geographic Indonesia tentang asal-usul toponimi Pondok Cina. Lilie mengawali kisahnya tentang sosok tuan tanah Cornelis Chastelijn (1657-1714). Chastelijn—atau kerap ditulis Chastelein—berkuasa atas tanah-tanah partikelir di Batavia dan sekitarnya. Chastelein turut pula membentuk wajah kawasan yang kelak kita kenal dengan toponimi Depok.

Chastelein memiliki berbagai kebun di Depok, ungkap Lilie. Banyak orang-orang Cina yang berminat untuk berdagang di tanah miliknya. Namun, Chastelijn melarang orang-orang Cina untuk bermalam di tanahnya, bahkan untuk melintas sekalipun! Lantaran ada aturan dari sang tuan tanah itulah, orang-orang Cina membuat pondokan untuk bermalam. “Lalu, orang-orang menyebutnya dengan Pondok Cina,” kata Lilie.

Jan-Karel Kwisthout, peneliti sosok Chastelein, berkesempatan mampir di Depok sekitar satu dekade silam. Jan meneliti tentang sejarah Depok yang berkait dengan perangai Chastelijn, dan meluncurkan bukunya berjudul Sporen uit het verleden van Depok—atau dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Jejak-jejak Masa Lalu Depok.

Berdasar catatan-catatan dari sang tuan tanah itu, Jan mengungkapkan bahwa Chastelein memiliki ketidaksukaan kepada orang Jawa dan orang Cina.

Aturan pelarangan Chastelein kepada orang-orang Cina tadi bermula pada akhir abad ke-17 dan setidaknya bertahan hingga awal abad ke-20. Jan mengisahkan bahwa pernah ada pedagang Cina membuka toko kecil di Depok, yang terpaksa tinggal di Pondok Cina lantaran masih ada aturan orang Cina tidak boleh bermalam di Depok.  

“Oleh pemerintah desa ia tidak diperbolehkan memasuki tanah itu sebelum matahari terbit, dan sebelum matahari terbenam dia harus meninggalkan tanah itu lagi,” demikian catat Jan dalam bukunya.

Pondok Cina tampaknya bagian kenangan pahit orang-orang Cina yang berjuang hidup di pinggiran luar Kota Batavia. Namun, toponimi ini menunjukkan ‘kemenangan’ orang-orang Cina yang mampu hidup tak hanya di jantung Batavia—tetapi juga daerah pedalaman.

Setiap bangunan memiliki jiwa. Konteks arsitektural sebuah bangunan mungkin akan terkait dengan tempat, aspek arkeologi dan sejarah kawasan, atau ekologi di sekitarnya. Kapan bangunan ini hadir dan pada saat kota seperti apa? Juga, bagaimana sebuah bangunan merespon konteks?

Di Jakarta dan sekitarnya, sejatinya banyak rumah milik tuan tanah yang berkait dengan pusaka kota. Namun, celakanya, kepentingan kota acap kali tak kuasa menjaga pusakanya.

Kita tidak rela apabila rumah Pondok Cina bernasib seperti rumah Cimanggis, yang binasa dan menyisakan puing-puing—kendati kini telah dibangun kembali. Kita juga sungguh tidak rela rumah ini musnah tak berbekas, seperti rumah Kapitan Cina Oei Djie San di Karawaci atau rumah Johannes Hooyman yang menandai toponimi Pondok Gede. Masihkah kita memiliki harapan kepada rumah-rumah sezaman supaya lestari dan memancarkan pamor pesonanya seperti Gedung Arsip Nasional di Jakarta?

Budi Lim, salah satu arsitek yang memugar Gedung Arsip Nasional, pernah berkata dalam sebuah forum, "Kota tanpa bangunan tua itu seperti orang yang hilang ingatan."