Sejarah Dunia: Bagaimana Agama dan Sihir Memengaruhi Tulisan Kuno?

By Tri Wahyu Prasetyo, Rabu, 28 Februari 2024 | 15:00 WIB
Mantra persembahan yang ditampilkan pada sebuah prasasti pemakaman Mesir Kuno. (George Shuklin/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Evolusi tulisan kuno muncul melalui upaya manusia untuk mencatat berbagai hal. Awalnya, hal ini muncul secara alami dalam konteks tujuan pragmatis, ekonomi, dan administratif, seperti pencatatan perpajakan atau nota penjualan. 

Namun, menurut sejarawan Heather Reilly, tulisan juga berkembang untuk merekam dan melestarikan praktik-praktik kultus serta kepercayaan agama. 

“Secara bertahap, keyakinan tumbuh bahwa kata-kata tertulis memiliki kekuatan ritualistiknya sendiri; tindakan menuliskan nama dewa atau entitas magis diyakini dapat menyulap atau membangkitkan mereka dengan cara tertentu,” tulis Reilly pada laman The Collector.

Aksara Paku

Tablet dengan tulisan kuno yang ditemukan. (University of Tübingen, eScience Center, and Kurdistan Archaeology Organization)

Aksara paku dibuat sekitar 3.500 SM di selatan Mesopotamia. Aksara ini digunakan oleh berbagai peradaban dan dapat mengartikulasikan banyak bahasa. 

Aksara paku itu sendiri mengalami banyak fase dan gaya karena beragam kegunaannya. Di bawah bangsa Sumeria, aksara ini terutama berbentuk piktografik. Simbol-simbolnya memiliki hubungan yang jelas dengan kata yang mereka gambarkan; misalnya, tanda seorang penguasa adalah seorang pria dengan hiasan kepala.

Bangsa Babilonia dan Asyur mengadaptasi piktogram ke dalam aksara yang lebih kompleks. Dalam variasi yang lebih baru ini, tanda-tanda tersebut dapat mewakili suku kata atau huruf yang dapat digabungkan untuk membuat kata-kata independen dari denotasi aslinya.

“Mereka yang dilatih untuk membaca dan menulis paku-pakuan sebagian besar adalah para juru tulis atau pendeta dimana bagi penduduk yang sebagian besar buta huruf pasti tampak misterius,” kata Reilly.

Penemuan tulisan paku dengan cepat mengilhami gagasan tentang doa tertulis kepada para dewa serta kutukan. Mantra-mantra ini muncul pada berbagai benda, mulai dari mangkuk hingga jimat.

Reilly mengungkapkan, kutukan tertulis telah ditemukan di beberapa kuburan termasuk kutukan terkenal yang tertulis di dinding makam Ratu Yaba, istri Raja Tiglath-Pileser III. 

Kutukan tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang menodainya tidak akan menerima persembahan di alam baka dan akan "gelisah selama-lamanya".

Hieroglif

Hieroglif melapisi dinding di sebuah kuil untuk dewi Hathor di Serabit el-Khadim. (Lydia Wilson)

Aksara hieroglif Mesir diperkirakan telah berkembang secara independen dari tulisan paku Sumeria sekitar waktu yang sama. Meskipun demikian, seiring berjalanya waktu aksara mesir ini mengalami perkembangan, bahkan menjadi lebih abstrak.

“Orang Mesir kuno percaya bahwa kata-kata itu sendiri dan gambar-gambar yang terkait ditanamkan dengan kekuatan transenden,” jelas Reilly.

Di dalam makam dan kuburan, bukti-bukti teks pelindung muncul melalui mantra-mantra, yang sering kali tertulis di dinding-dinding makam dan juga di jimat-jimat hieroglif. 

Sebuah hieroglif dapat melambangkan sesuatu yang lebih dari sekadar kata yang disampaikannya. 

Sebagai contoh, Reilly menjelaskan, “pilar Djed melambangkan kekuatan dan kemantapan dan mata Wadjet atau Wedjat, yang secara umum dikenal sebagai mata Horus, melambangkan perlindungan dan kelahiran kembali.”

Abjad dan Angka Yunani

Altar batu kapur Yunani dari Halicarnassus, abad ke-3 SM. (British Museum)

Bangsa Yunani mengadopsi alfabet Fenisia yang terdiri dari 22 simbol. Kesederhanaan aksara ini membuatnya lebih mudah dihafal dan karenanya lebih mudah diakses oleh populasi secara lebih luas dibandingkan dengan hieroglif atau aksara paku yang rumit.

Orang Yunani kemudian mempercayai hubungan magis intrinsik dari aksara tertulis, yang mengilhami praktik numerologi, yaitu ramalan dengan menggunakan angka.

Perbedaan antara angka dan huruf tertulis baru muncul pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, sehingga angka-angka Yunani menggunakan alfabet Yunani.

Menurut Reilly, Isopsephy, praktik yang telah ada setidaknya sejak abad ke-3 SM, “melibatkan penjumlahan nilai numerik dalam sebuah kata.” Jika dua kata atau lebih memiliki nilai numerik yang sama, “maka dikatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih tinggi.” 

Tradisi ini tidak hanya berlaku untuk bangsa Yunani, karena tradisi Ibrani tentang Gematria juga memiliki konsep yang serupa. Bahkan bangsa Neo-Assyria juga memiliki kepercayaan yang sama. 

Pythagoras, seorang ahli matematika sohor, mengembangkan sebuah teori di mana nama dan tanggal lahir seseorang dapat mengungkapkan karakteristik dan masa depan individu tersebut dengan mengambil angka dari masing-masing. 

Onomancy, atau ramalan berdasarkan nama, sangat populer di Eropa abad pertengahan dan praktik serupa terus berlanjut di seluruh dunia saat ini.

Glif Suku Maya

vas persegi dengan dewa-dewi hewan dan tulisan Maya, 755-780 Masehi. ( Museum Met)

Berasal dari sekitar tahun 2000 SM sebagai pemburu-pengumpul, suku Maya mencapai puncak kejayaannya pada tahun 600-900 Masehi. Namun, perlu dicatat, mereka tetap bertahan hingga penaklukan Spanyol pada abad ke-16 dan ke-17.

Sepanjang peradaban mereka yang telah berlangsung lama, suku Maya menghasilkan beberapa teks kuno paling luar biasa dari sistem penulisan berbasis glif.

Salah satu warisan paling luar biasa adalah penanggalan matahari Maya Haab yang terkenal dan dianggap sebagai salah satu paling akurat dari dunia kuno. Menurut Reilly, waktu diukur dan dicatat dengan sangat teliti karena dua alasan utama.

Yang pertama adalah “bahwa suku Maya memandang waktu sebagai siklus, yang berarti bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sejarah akan terulang kembali.”

Alasan kedua adalah karena “sistem acara keagamaan yang rumit dimana sistem ini diwujudkan dalam kalender Tzolkʼin yang terdiri dari 260 hari.”

Sayangnya, sebagian besar karya tulis suku Maya dihancurkan oleh penjajah Spanyol. Beruntung, tiga naskah masih bisa terselamatkan hingga hari ini.

Menariknya, ketiga naskah tersebut berfokus pada ketepatan waktu ritual, dewa-dewi, serta entitas dan praktik-praktik langit lainnya. Informasi astronomi dan ilustrasi dewa-dewi sangat menonjol dalam Kodeks Dresden, sementara Kodeks Madrid merinci pengorbanan, ramalan, dan kisah-kisah peperangan. Kodeks Paris juga menggambarkan ritual dan upacara suku Maya.

Gambaran dewa-dewa sering muncul, tidak hanya dalam kodeks-kodeks ini, tetapi juga dalam semua karya seni Maya.