Belajar dari Pengalaman, Kisah Warga Menjaga Gua Pindul dan Sungai Oya

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 29 Februari 2024 | 18:00 WIB
Sebagai objek wisata alam populer, Gua Pindul telah belajar dari pariwisata masif yang mengancam biota yang terkandung di dalamnya. Masyarakat Desa Bejiharjo dan operator-operator lokal bergotong royong untuk menjaga kelestariannya dengan membatasi jumlah kunjungan. (Wirawisata)

Nationalgeographic.co.id—Biasanya, ketika berkunjung ke wisata air, saya akan mengunjungi toilet, kamar mandi, dan kamar gantinya. Tidak jarang, saya menemukan tempat yang kurang nyaman dan bau.

Namun, pagi itu di Gua Pindul, saya merasa nyaman. Fasilitas yang tersedia di balai operator wisata Wiraiwsata sangat bersih dan nyaman. Cicir (30 tahun) dan Nurul (30 tahun), segera menawarkan penitipan barang dan sarung tahan air ponsel setelah saya berganti pakaian untuk menysiri wisata.

"Di sini yang mengelola warga dusun, mas," kata Nurul, sembari memberi label 'Afkar' pada tas yang saya titipkan. "Kami ini Karang Taruna. Anggota Karang Taruna dusun ini ya, bertugas juga di Wirawisata, mas."

Wirawisata adalah operator wisata yang mayoritas adalah pemuda Karang Taruna di Dusun Gelaran II, Desa Bejiharjo, Kabupaten Gunungkidul. Selain Karang Taruna, warga yang kesehariannya bergantung pada hasil bumi di dusun, juga terlibat untuk menghidupkan wisata Gua Pindul dan Susur Sungai Oya.

Sudarno (47 tahun) yang menjadi pemandu wisata saya dan rekan-rekan mengatakan, masyarakat di Desa Berjiharjo bekerja sebagai petani di sawah dan kebun, atau tambak ikan. Memandu wisata hanya kerja sampingan. 

"Saya sendiri petani padi," kata pria yang lebih dikenal sebagai Darwin itu. "Biasanya pagi-pagi saya cocok tanam. Kalau sudah siangan sedikit, saya memandu kalau ada tamu. Yang lain juga biasanya begitu. Lanjut lagi pas sore, atau sudah enggak ada tamu lagi," lanjutnya.

Dari balai milik Wirawisata, kami berangkat untuk melakukan aktivitas pertama: Susur Sungai Oya. Setelah mengenakan pelampung, kami berangkat dengan pikap.

Dalam perjalanan ini, para pemandu bergelayut di belakang bak mobil, sementara kamu di dalamnya. Kami melihat berbagai kebun, persawahan, dan tambak ikan air tawar yang menghidupi masyarakat Desa Berjiharjo. 

Selain padi, produk pertanian yang dihasilkan masyarakat desa antara lain jagung, singkong, dan aneka sayuran. Biasanya, singkong dan sayuran adalah palawija yang ditanam secara bergiliran di kebun milik Perhutani kala kemarau. Sedangkan ikan yang dibudi daya lebih banyak jenis nila dan lele yang mayoritas berasal dari aliran sungai di Gua Pindul.

Setibanya di Sungai Oya, airnya coklat keruh dan sampah yang tersangkut di ranting-ranting pohon pinggiran sungai mulai dari pakaian, plastik, hingga popok. Ekspektasi akan pesona keindahan tempat wisata saya sirna.

Penyebabnya bukan karena masyarakat yang doyan membuang sampah ke sungai atau aktivitas di hulu. Sehari sebelumnya, hujan deras mengguyuri sebagian tempat Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Desa Bejiharjo. Hujan deras ini bahkan menyebabkan banjir di Kota Yogyakarta.

Namun itu tidak seberapa. Darwin menjelaskan bahwa banjir terparah pernah terjadi pada 2018. Permukaan sungai yang kami arungi berada di kedalaman 3-4 meter dari tinggi tanah. Kala banjir besar menerpa, menurut kesaksian Darwin, banjirnya meluap. Luapannya sampai-sampai memutus jembatan yang masih terlihat kerusakannya ketika kami lewat.