Teror Kelompok Fanatik Yahudi dalam Sejarah Kekaisaran Romawi

By Tri Wahyu Prasetyo, Minggu, 3 Maret 2024 | 15:00 WIB
Tebarkan teror, ahli pedang Sicari membunuh para pendukung Romawi. Sicarii akan muncul entah dari mana dan membunuh di tengah keramaian. (Angel Garca Pinto)

Nationalgeographic.co.id - Pada hari yang terik di sebuah kota metropolitan, seperti biasanya, orang-orang berlalu lalang melakukan aktivitas rutin. Namun, tiba-tiba suara jeritan terdengar dari satu titik, dan segera menular ke sekitarnya.

Tak ada yang menyangka, bahwa segerombolan teroris berpisau belati telah berada di tengah-tengah kerumunan. Mereka adalah Sicarii, yang baru saja mengamuk dan memulai aksi kekerasan mengerikan. 

Mungkin telah ditentukan siapa target utama yang akan dibunuh. Namun, Sicarii juga melakukannya kepada orang-orang di kerumunan secara acak.

Kini kecemasan nyaris tak dapat dihindari oleh masyarakat, bahkan menjelma menjadi darah yang mengalir dalam kerapuhan diri. Setiap jam, rasanya seperti sedang menunggu jatah kematian.

Kemunculan Sicarri

Sicarii merupakan kelompok fanatik Yahudi yang hidup pada abad Ke-1 Masehi. Kehadiran mereka bertujuan untuk mengusir orang-orang Romawi dan kolaboratornya dari Yudea.

Berbagai bentuk serangan dilancarkan oleh Sicarii, baik untuk menghancurkan musuh maupun menginspirasi orang lain untuk bangkit melawan penjajahan.

James J. Bloom, dalam buku “The Jewish revolts against Rome”, menjelaskan bahwa kelompok Sicarii ini memberontak dengan sangat keras dan memproklamasikan "tidak ada tuan di atas Tuhan,".

Perdebatan seputar peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan Sicarii belum usai hingga hari ini–hampir 2.000 tahun kemudian.

Hal tersebut terutama disebabkan oleh fakta bahwa hampir semua informasi yang tercatat mengenai kelompok Sicarii berasal dari satu penulis, seorang jenderal Yahudi yang kemudian menjadi pembelot Romawi, Josephus.

Menurut penulis Dean Smith, dilansir dari laman History is Now Magazine, kaum Sicarii mendapatkan nama mereka dari jenis belati khas yang mereka gunakan, yang ukuran dan bentuknya mirip dengan kata Sica dalam bahasa Romawi.

“Hal ini sangat penting dari konteks sejarah karena kami tidak memiliki bukti bahwa kelompok ini pernah menyebut diri mereka sebagai Sicarii,” kata Smith.

Nama Sicarii berasal dari senjata yang digunakan oleh kelompok ini. Senjata pilihan mereka berupa pedang kecil, tidak jauh berbeda panjangnya dari acinacæ Persia, namun agak bengkok. (Barnebys)

Tindakan yang dilakukan oleh Sicarii sangat mirip dengan kelompok-kelompok modern yang menyandang julukan teroris. Mereka membunuh tokoh-tokoh Yahudi terkemuka yang dianggap sebagai kolaborator Romawi. 

Serangan-serangan ini sering kali dilakukan di depan umum, sehingga para penyerang dapat berbaur kembali dengan kerumunan orang di sekitarnya setelah serangan terjadi. Tentu akan sulit menemukan Sicarii seusai aksinya.

Menurut Josephus, orang pertama yang digorok lehernya oleh mereka adalah Yonatan, imam besar, dan setelahnya, banyak orang dibunuh setiap hari. 

Yang lebih mengerikan daripada kejahatan itu sendiri adalah rasa takut yang ditimbulkannya, setiap orang setiap jam menunggu kematian, seperti dalam perang. Jika Sicarii dapat mencapai anggota masyarakat Yahudi yang paling berkuasa dan berpengaruh, maka tidak ada yang aman dari cengkeraman mereka.

Tak hanya membunuh, kaum Sicarii juga melakukan sederet aksi penjarahan terhadap musuh maupun kaum bangsawan Yahudi pro-Romawi di daerah sekitar Yerusalem.

Menurut beberapa sejarawan, hal tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk memupuk pemberontakan di antara penduduk Yahudi setempat. Mereka ingin menunjukkan bahwa otoritas Romawi tidak berdaya untuk mempertahankan hukum dan ketertiban

Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang Sicarii berusaha memprovokasi tindakan keras terhadap gerakan anti-Romawi Yahudi oleh orang-orang Saduki. Hal ini kemudian memicu pemberontakan di kalangan penduduk. 

Smith menjelaskan, selama periode menjelang pemberontakan Yahudi pada tahun 66 SM, kaum Sicarii dipimpin oleh Menahem ben Judah, hingga ia dibunuh oleh para pesaingnya. 

“Kematiannya menandai berakhirnya partisipasi Sicarii dalam pemberontakan Yahudi yang pada akhirnya menyebabkan tercerai-berainya penduduk Yahudi dan penghancuran bait suci kedua,” kata Smith.

Ambang Kekalahan dan Pertahanan Terakhir

Kaum Sicarii berpindah lokasi ke benteng di puncak gunung Masada. Selama periode ini, Smith menjelaskan, mereka mulai merampok dan menjarah daerah pedesaan di sekitar benteng.

Seperti yang digambarkan Josephus, di mana Sicarii membantai tujuh ratus wanita dan anak-anak, "menelanjangi rumah-rumah, merampas hasil panen yang paling matang, dan membawa hasil rampasannya ke Masada". 

Bagi Smith, tindakan-tindakan ini sejalan dengan kelompok-kelompok teroris modern, yang sering “mengaburkan batas antara aktivisme politik dan bandit ketika mereka mendukung tujuan ideologis.”

Namun kebrutalan mereka terhadap penduduk desa tak berlangsung lama. Mereka segera harus menghadapi pengepungan Romawi terhadap Masada. 

Pasukan Romawi memanfaatkan tenaga kerja budak untuk membangun tembok di sekeliling Masada. Sebisa mungkin, mereka mencegah pasokan apa pun yang mengarah ke Sicarii dan menghentikan setiap upaya pelarian.

Pengepungan akhirnya berakhir dengan bunuh diri massal semua orang yang berada di dalam benteng Masada, termasuk keluarga dan anak-anak Sicarii.