Pada tahun 1930-an, seorang ilmuwan Jepang bahkan mengeklaim bahwa pengamatannya terhadap ikan berkumis memprediksi hingga 100 gempa bumi. Setidaknya disinyalir, gempa selalu terjadi dalam waktu 12 jam jika mereka berenang dengan cara tertentu.
Kaitan antara Namazu, ketidakseimbangan kosmis, politik, dan agama di Jepang
Banyak kebudayaan kuno menafsirkan bencana alam sebagai akibat dari ketidaksenangan ilahi atau ketidakseimbangan kosmis.
Bagi masyarakat Jepang pada pertengahan abad ke-19, gempa bumi bukan sekadar kesempatan untuk menyalahkan kelalaian pemerintah. Banyak orang Jepang mungkin percaya bahwa gempa bumi adalah tanda bahwa pemerintah tidak lagi sejalan dengan keadilan kosmis. Pemerintah telah kehilangan kelayakan moralnya untuk memerintah. Karena itu, alam semesta berupaya menghilangkannya demi memulihkan tatanan moral.
Menariknya, ketika Komodor Matthew C. Perry tiba dari Amerika Serikat untuk membuat perjanjian dagang dengan Jepang, Namazu juga muncul dalam konteks politik. Karya seni dibuat yang menggambarkan kapal uap Amerika sebagai Namazu yang membawa uang kepada masyarakat Jepang. Seniman politik mungkin melihat kedatangan Amerika dan potensi perdagangan baru sebagai sesuatu yang akan mengganggu pemerintahan Jepang. Ketidakseimbangan itu berpotensi menyebabkan gempa metaforis. Tampaknya dia benar.
Pengenalan perdagangan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya turut menyebabkan jatuhnya Keshogunan Tokugawa. Pada saat yang sama, tatanan politik baru yang tersentralisasi pun bangkit. Kaisar kembali menjadi pemimpin di Kekaisaran Jepang. Ada kemungkinan bahwa banyak orang Jepang menghubungkan gempa bumi ini dengan perubahan politik ini.
Bencana alam mungkin dipandang sebagai pertanda bahwa tatanan politik tidak memberikan manfaat yang baik bagi rakyat Jepang. Karena itu, bencana muncul untuk menyingkirkannya. Gempa bumi Ansei Edo adalah tanda bahwa ada sesuatu yang tidak seimbang secara kosmis dengan pemerintahan Jepang. Dan kedatangan kapal-kapal Amerika adalah tanda bagaimana keseimbangan ini akan dipulihkan.
Saat ini, agama, kosmologi, dan politik dianggap sebagai hal yang terpisah. Namun di dunia kuno, semuanya saling terkait. Gangguan kosmis penuh dengan implikasi politik serta tanda-tanda ketidaksenangan atau takdir ilahi. Dengan cara inilah Namazu, mitos ikan berkumis raksasa yang hidup di kedalaman bawah tanah, menjadi simbol politik. Ia muncul untuk memperbaiki ketidakadilan ekonomi dan sosial di Jepang pada abad ke-19.
Namazu, mitos ikan berkumis raksasa merupakan contoh menarik tentang hubungan antara kosmologi, agama, dan politik. Namazu adalah penjelasan rakyat untuk gempa bumi. Orang Jepang yang berorientasi akademis cenderung menjelaskan gempa bumi dalam kaitannya dengan pemulihan keseimbangan antara yin dan yang. Selain menjelaskan fenomena alam, Namazu juga dilibatkan dalam kritik terhadap tatanan sosial dan politik.
Kebanyakan orang Jepang tidak lagi benar-benar percaya pada Namazu. Namun Namazu adalah contoh fenomena yang terus berlanjut hingga saat ini. Orang melihat bencana alam sebagai tanda ketidaksenangan Tuhan atau ketidakseimbangan kosmis.
Bahkan pada abad yang lalu, beberapa wabah penyakit dikaitkan dengan hukuman Tuhan, termasuk epidemi AIDS. Sebagian orang melihat pandemi COVID-19 sebagai upaya biosfer bumi “melawan” eksploitasi berlebihan yang dilakukan manusia terhadap alam. Dalam hal ini, bumi tidak dipandang sebagai dewa secara harafiah, namun prinsipnya sama. Manusia telah mengganggu tatanan alam dan akibatnya tatanan alam merespons untuk memperbaiki masalah tersebut.