Sebuah legenda yang dicatat oleh cendekiawan Yunani Julius Pollux pada abad ke-2 Masehi menceritakan tentang penemuannya oleh dewa Fenisia, Melqart.
Alkisah, Melqart, saat berjalan-jalan di pantai bersama anjingnya dan nimfa Tyros, menemukan pewarna tersebut saat anjingnya menggigit siput laut, dan mengubah mulutnya menjadi ungu.
Melqart kemudian menggunakan pewarna yang diekstrak dari siput di mulut anjingnya untuk mewarnai gaun Tyros.
Tak hanya memproduksi, Bangsa Fenisia adalah yang pertama kali memperdagangkan pewarna ungu Tirus. Dengan memanfaatkan keahliannya di laut, mereka mendistribusikan pewarna yang didambakan ini ke seluruh Mediterania.
Monopoli mereka dalam produksi berarti bahwa mereka adalah pemasok utama untuk Kekaisaran Romawi, di mana permintaan akan warna ungu tidak pernah terpuaskan di kalangan masyarakat kelas atas.
Diduga, tren penggunaan warna ungu oleh bangsawan Romawi dimulai saat Julius Caesar memimpin. Penggunaan warna ungu kekaisaran oleh Caesar bukan sekadar sebuah pernyataan mode, tetapi juga sebuah langkah politik.
Meskipun demikian, penggunaan warna ungu benar-benar berkembang ketika Kaisar Caligula naik ke tampuk kekuasaan. Ia memerintahkan kepada seluruh anggota istana untuk mengenakan warna ungu.
Simbolisme Warna Ungu di Kekaisaran Romawi
Di Roma, ungu lebih dari sekadar warna; ungu merupakan penanda otoritas kekaisaran dan kemurahan ilahi.
Senat Romawi membatasi penggunaan warna ungu hanya untuk kaisar dan anggota keluarga kekaisaran–sebuah hukum yang menggarisbawahi hubungan warna tersebut dengan kekuasaan dan prestise.
Bahkan, konon jika ada rakyat jelata yang berani mengenakan pakaian berwarna ungu, mereka dianggap melanggar hukum berat dan terancam mendapat hukuman mati.
Eksklusivitas ini diperkuat dengan harga pakaian ungu yang mahal, sehingga hanya orang yang paling berkuasa atau kaya yang mampu membelinya. Dalam jumlah yang sama, setengah kilo ungu Tiran memiliki harga yang lebih tinggi dari emas.