Penggunaan utama ungu tirus adalah untuk mewarnai tekstil, terutama kain berkualitas tinggi yang dikenal sebagai Dibapha.
“Selama berabad-abad, negara Romawi mengambil tindakan luar biasa untuk memonopoli produksi pewarna ungu, mendedikasikan penggunaannya secara eksklusif untuk kaisar,” jelas Christina.
Warisan warna ungu tirus meluas melampaui Kekaisaran Romawi, memengaruhi mode dan politik peradaban berikutnya. Meskipun Roma telah runtuh, daya pikat warna ungu terus berlanjut, dengan warna yang tetap menjadi simbol status dan otoritas di banyak masyarakat.
Di Kekaisaran Bizantium, menurut Christina, warna ungu menandakan monopoli kekaisaran. Warna ini juga digunakan untuk dokumen-dokumen kekaisaran yang penting, menandai mereka yang mengenakannya sebagai pejabat tinggi atau uskup. Anak-anak mereka juga mendapat julukan “dilahirkan dalam warna ungu”.
“Setitik warna ungu pada pakaian seseorang menandakan hubungan langsung dengan kekuasaan kekaisaran atau hirarki gereja,” kata Christina.
Monopoli warna ungu dari kalangan kerajaan akhirnya memudar setelah runtuhnya kekaisaran Bizantium pada abad ke-15. Kendati demikian, warna ini baru tersedia secara luas pada tahun 1850-an, saat pewarna sintetis pertama kali masuk ke pasar.