Makan Daging Pernah Jadi Hal Tabu di Kekaisaran Jepang selama 12 Abad

By Sysilia Tanhati, Rabu, 20 Maret 2024 | 07:00 WIB
Konsumsi daging pernah menjadi hal tabu di Kekaisaran Jepang selama 12 abad. Apa alasannya? (Schellack/CC BY 3.0)

Pemerintah menyatakan bahwa siapa pun yang memakan kambing liar, serigala, kelinci, atau anjing rakun diharuskan bertobat selama 5 hari sebelum mengunjungi kuil. Namun, mereka yang makan daging babi atau daging rusa diharuskan bertobat selama 60 hari. Bagi pemakan daging sapi dan kuda, mereka harus bertobat selama 150 hari.

Pada kesempatan langka ketika mereka makan daging, orang Jepang memasaknya di atas api di luar rumah. Mereka menghindari melihat langsung ke altar setelahnya agar tidak mencemari daging tersebut.

Ketika misionaris Portugis tiba di Kekaisaran Jepang pada awal abad ke-16, mereka diberi nasihat soal susu dan daging. Konon penduduk setempat menganggap minum susu sama seperti meminum darah dan makan daging sapi adalah hal yang tidak terpikirkan.

Bahkan panglima perang Toyotomi Hideyoshi diduga mempertanyakan misionaris Portugis tentang praktik mereka memakan daging sapi. Saat itu, sapi sangat berguna sebagai hewan ternak. Namun demikian, orang Portugis mampu menyebarkan beberapa masakan mereka kepada penduduk setempat, termasuk manisan, tempura, dan daging sapi.

Kebiasaan makan mulai berubah lebih cepat pada akhir abad ke-19. Setelah Kaisar Meiji mengambil alih kekuasaan pada 1868, pemerintah Jepang berusaha mengakhiri isolasi selama dua abad. Mereka pun mengadopsi praktik dan teknologi Barat secepat mungkin. “Sebagian percaya bahwa alasan mengapa orang Jepang memiliki fisik yang buruk dibandingkan orang Barat adalah karena tidak makan daging atau produk susu,” tulis Ishige.

Pemerintahan Meiji mulai menghilangkan pantangan kuno tersebut. Mereka mendirikan perusahaan untuk memproduksi daging dan produk susu. Kaisar sendiri menyantap daging untuk merayakan Tahun Baru pada tahun 1872. Hal ini berhasil meyakinkan masyarakat Jepang untuk meninggalkan kebiasaan pantang daging.

Tentu saja ini bukanlah transisi yang mudah. Umat ​​Buddha yang taat telah lama menerima gagasan bahwa makan daging adalah dosa. Misalnya para biksu dan petani pedesaan yang bergantung pada hewan mereka untuk bekerja di peternakan,

Sebuah dekrit prefektur pada tahun 1872 berbunyi, “Meskipun daging sapi adalah makanan yang bergizi, banyak orang yang menghalangi upaya westernisasi dengan berpegang teguh pada adat konvensional,” dan menambahkan, “Tindakan seperti itu bertentangan dengan keinginan Kaisar.”

Pada akhirnya, keinginan Kaisar Jepang dikabulkan. Ketika Jepang membuka diri terhadap dunia, Jepang mulai menyerap hidangan berbahan dasar daging dari Korea, Tiongkok, dan Barat. Tak lama kemudian, restoran mahal bergaya Barat yang menyajikan daging bermunculan di kota-kota. Kemudian diikuti oleh restoran Jepang dengan harga terjangkau yang menyajikan sup daging sapi obat. Sup daging sapi pun berkembang menjadi hidangan sukiyaki.

Saat ini, orang Jepang mengonsumsi daging hampir sama banyaknya dengan makanan laut. Meskipun butuh waktu beberapa dekade, daging kini menjadi bagian dari masakan Jepang seperti halnya sushi.