Makan Daging Pernah Jadi Hal Tabu di Kekaisaran Jepang selama 12 Abad

By Sysilia Tanhati, Rabu, 20 Maret 2024 | 07:00 WIB
Konsumsi daging pernah menjadi hal tabu di Kekaisaran Jepang selama 12 abad. Apa alasannya? (Schellack/CC BY 3.0)

Nationalgeographic.co.id—Pada 18 Februari 1872, sekelompok biksu Buddha menerobos ke Istana Kekaisaran Jepang untuk bertemu dengan kaisar. Mereka datang untuk memprotes kaisar yang mengonsumsi daging sapi. Di masa itu, mengonsumsi daging merupakan perbuatan terlarang.

Tindakan kaisar yang mengonsumsi daging merupakan sesuatu yang dianggap oleh para biksu sebagai krisis spiritual eksistensial bagi Kekaisaran Jepang. Konsumsi daging sapi yang dilakukan kaisar secara efektif mencabut larangan mengonsumsi hewan yang telah berlaku selama 1.200 tahun.

“Para biksu percaya bahwa tren baru makan daging dapat menghancurkan jiwa masyarakat Jepang,” tulis Kristi Allen di laman Atlas Obscura.

Karena alasan agama dan praktis, sebagian besar orang di Kekaisaran Jepang menghindari makan daging selama lebih dari 12 abad. Daging sapi sangat tabu. Bahkan, kuil-kuil tertentu menuntut puasa lebih dari 100 hari sebagai penebusan dosa karena mengonsumsinya.

Kisah peralihan Jepang dari daging dimulai dengan masuknya agama Buddha dari Korea pada abad ke-6. Saat itu, masyarakat di Kekaisaran Jepang adalah pemakan daging. Daging rusa dan babi hutan sangat populer. Bangsawan senang berburu serta menyantap isi perut rusa dan unggas liar.

Padahal agama Buddha mengajarkan bahwa manusia bisa bereinkarnasi menjadi makhluk hidup lain, termasuk hewan. Pemakan daging berisiko memakan nenek moyang mereka yang bereinkarnasi. Prinsip-prinsip Budha yang menghormati kehidupan dan menghindari pemborosan, terutama dalam hal makanan, perlahan mulai membentuk budaya Jepang. “Prinsip itu pun kemudian meresap ke dalam kepercayaan asli Shinto,” tambah Allen.

Pada tahun 675, Kaisar Tenmu mengeluarkan dekrit resmi pertama tentang larangan konsumsi daging. Larangan berlaku untuk konsumsi daging sapi, kuda, anjing, ayam, dan monyet selama puncak musim pertanian dari bulan April hingga September. Seiring berjalannya waktu, praktik ini semakin diperkuat dan diperluas menjadi tabu sepanjang tahun yang melarang makan daging.

Namun larangan daging juga mempunyai akar sekuler. Bahkan sebelum agama Budha, daging bukanlah bagian penting dari pola makan masyarakat di Kekaisaran Jepang. Sebagai negara kepulauan, Jepang selalu mengandalkan ikan dan makanan laut sebagai makanan pokok. Selain itu, tulis sejarawan Naomishi Ishige, “protein dicerna dari nasi, bukan dari daging atau susu”.

Memelihara hewan membutuhkan banyak sumber daya. Karena alasan itu, para petani Jepang yang bekerja dengan lahan terbatas di negara kepulauan pegunungan mereka menghindari hal tersebut. Hal ini juga merupakan kepentingan terbaik bagi Kekaisaran Jepang untuk mencegah konsumsi hewan ternak yang berguna. Pasalnya, jumlah hewan tersebut relatif sedikit di Jepang.

Namun lain halnya jika seseorang memakan daging hewan liar. Ditambah lagi, bangsawan Jepang tidak pernah sepenuhnya menghentikan praktik ini. Ada catatan pajak yang dibayarkan dan hadiah yang dikirimkan kepada kaisar dalam bentuk daging babi, sapi, dan bahkan susu. Daging masih dianggap tabu di kalangan kelas atas, namun sering kali diperlakukan sebagai makanan khusus yang berkhasiat obat. Bahkan biksu Buddha kadang-kadang boleh mengonsumsi daging atas perintah dokter.

Pada abad ke-18, Klan Hikone mengirimkan hadiah tahunan berupa acar daging sapi dengan sake kepada shogun dalam paket berlabel obat. Burung lebih diterima sebagai bahan makanan dibandingkan mamalia. Dan lumba-lumba serta paus sering dimakan karena dianggap ikan.

Beberapa mamalia lebih dilarang dibandingkan mamalia lainnya. Menurut Ishige, “konsep Buddhis tentang perpindahan jiwa dan tabu terhadap daging mamalia menjadi saling terkait. Dan kepercayaan menyebar bahwa seseorang yang memakan daging hewan berkaki empat setelah kematiannya akan bereinkarnasi menjadi hewan berkaki empat.”

Pemerintah menyatakan bahwa siapa pun yang memakan kambing liar, serigala, kelinci, atau anjing rakun diharuskan bertobat selama 5 hari sebelum mengunjungi kuil. Namun, mereka yang makan daging babi atau daging rusa diharuskan bertobat selama 60 hari. Bagi pemakan daging sapi dan kuda, mereka harus bertobat selama 150 hari.

Pada kesempatan langka ketika mereka makan daging, orang Jepang memasaknya di atas api di luar rumah. Mereka menghindari melihat langsung ke altar setelahnya agar tidak mencemari daging tersebut.

Ketika misionaris Portugis tiba di Kekaisaran Jepang pada awal abad ke-16, mereka diberi nasihat soal susu dan daging. Konon penduduk setempat menganggap minum susu sama seperti meminum darah dan makan daging sapi adalah hal yang tidak terpikirkan.

Bahkan panglima perang Toyotomi Hideyoshi diduga mempertanyakan misionaris Portugis tentang praktik mereka memakan daging sapi. Saat itu, sapi sangat berguna sebagai hewan ternak. Namun demikian, orang Portugis mampu menyebarkan beberapa masakan mereka kepada penduduk setempat, termasuk manisan, tempura, dan daging sapi.

Kebiasaan makan mulai berubah lebih cepat pada akhir abad ke-19. Setelah Kaisar Meiji mengambil alih kekuasaan pada 1868, pemerintah Jepang berusaha mengakhiri isolasi selama dua abad. Mereka pun mengadopsi praktik dan teknologi Barat secepat mungkin. “Sebagian percaya bahwa alasan mengapa orang Jepang memiliki fisik yang buruk dibandingkan orang Barat adalah karena tidak makan daging atau produk susu,” tulis Ishige.

Pemerintahan Meiji mulai menghilangkan pantangan kuno tersebut. Mereka mendirikan perusahaan untuk memproduksi daging dan produk susu. Kaisar sendiri menyantap daging untuk merayakan Tahun Baru pada tahun 1872. Hal ini berhasil meyakinkan masyarakat Jepang untuk meninggalkan kebiasaan pantang daging.

Tentu saja ini bukanlah transisi yang mudah. Umat ​​Buddha yang taat telah lama menerima gagasan bahwa makan daging adalah dosa. Misalnya para biksu dan petani pedesaan yang bergantung pada hewan mereka untuk bekerja di peternakan,

Sebuah dekrit prefektur pada tahun 1872 berbunyi, “Meskipun daging sapi adalah makanan yang bergizi, banyak orang yang menghalangi upaya westernisasi dengan berpegang teguh pada adat konvensional,” dan menambahkan, “Tindakan seperti itu bertentangan dengan keinginan Kaisar.”

Pada akhirnya, keinginan Kaisar Jepang dikabulkan. Ketika Jepang membuka diri terhadap dunia, Jepang mulai menyerap hidangan berbahan dasar daging dari Korea, Tiongkok, dan Barat. Tak lama kemudian, restoran mahal bergaya Barat yang menyajikan daging bermunculan di kota-kota. Kemudian diikuti oleh restoran Jepang dengan harga terjangkau yang menyajikan sup daging sapi obat. Sup daging sapi pun berkembang menjadi hidangan sukiyaki.

Saat ini, orang Jepang mengonsumsi daging hampir sama banyaknya dengan makanan laut. Meskipun butuh waktu beberapa dekade, daging kini menjadi bagian dari masakan Jepang seperti halnya sushi.