Nationalgeographic.co.id—Dikenal sebagai salah satu pusat peradaban yang pesat, masa keemasan sejarah Yunani kuno memudar pada pertengahan abad kelima SM. Hal ini disebabkan selisih dari negara-negara kota mereka yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya sejak abad keenam SM.
Padahal, pada masa ini mereka dibayang-bayangi dua kekuatan besar: Kekaisaran Persia wangsa Akhemeniyah dan Makedonia. Alih-alih bersatu, negara-negara kota ini sibuk berselisih.
Dua negara kota yang paling kuat menebarkan pengaruh dalam sejarah Yunani kuno adalah Athena dan Sparta. Keduanya memiliki bahasa dan keyakinan agama yang sama, namun dipisahkan sifat geografis yang juga berdampak pada budaya masing-masing.
Pengaruh Athena dan Sparta tersebar ke negara-negara kota lainnya yang dibangun dalam aliansi. Meski negara-negara kota ini beroperasi sendiri-sendiri, ketika perang pecah akan saling melindungi.
Hal yang menonjol dari perbedaan Athena dan Sparta adalah pilihan pemerintahannya masing-masing. Pemerintahan Athena berjalan secara demokratis yang menentukan keputusan dan pimpinan pemerintahannya lewat sistem pemilu.
Sistem demokratis ini muncul ketika dicetuskan Konstitusi Solon pada awal abad keenam SM. Mereka memiliki lembaga dewan yang terdiri dari 400 orang yang dipilih sebagai perwakilan masyarakat. Isu ini dibahas dan dilaksanakan melalui majelis. Konstitusi ini diadaptasi setelah Athena nyaris bubar akibat perpecahan.
Sparta justru sebaliknya. Negara kota Yunani kuno ini cenderung oligarkis dengan gaya pemerintahan militeristik. Hanya ada segelintir orang di pemerintahan Sparta dengan senat yang terdiri dari 30 orang. Anggota senat adalah tuan dari warga negara.
Gaya pemerintahan ini mendukung kehidupan Sparta yang mengharuskan laki-laki untuk ikut dinas militer pada usia tujuh tahun. Masyarakat Sparta kurang menyukai gaya Athena yang dianggap terlalu lemah.
Selisih antara Sparta dan Athena sangat terlihat ketika harus berhadapan dengan Kekaisaran Persia. Tatkala Sparta mulai mengusik politik Athena menjelang Perang Persia (499–449 SM), warga Athena memilih untuk berlindung pada Darius I dari Kekaisaran Persia. Hal ini dicatat oleh Herodotos (skt 484–425 SM) dalam Historia.
Permohonan perlindungan ini mengharuskan Athena menyerahkan diri, namun Athena tidak memenuhi janji sehingga Darius I meminta kekuasaan terhadap seluruh Yunani yang mungkin dikira adalah sama dengan Athena.
Athena dan Sparta Belajar dari Perang Persia
Perpecahan antara negara-negara kota Yunani kuno terjeda ketika Perang Persia. Perang ini terjadi ketika Athena dan Eretria membantu pemberontakan Ionia, negara kota Yunani kuno di Turki, untuk merdeka dari Kekaisaran Persia pada 499 SM.
Meski selama beberapa pertempuran Sparta juga turut membantu, akan tetapi jalan perjuangan yang diambil berbeda. Sparta lebih nekat, seperti yang terjadi dalam Pertempuran Thermopilai pada 480 SM.
Athena dan beberapa negara kota lainnya berhasil mengusir Persia di Pertempuran Salamis pada tahun yang sama. Perang pun dimenangkan oleh pihak Yunani kuno.
Usai perang yang panjang, Athena belajar bahwa posisi mereka tidak menguntungkan secara finansial, jika dibandingkan Sparta yang memiliki pejuang tak terbatas. Athena mempelajari bagaimana Kekaisaran Persia punya jaringan negara yang bekerja sama.
Athena kemudian membuat aliansi dengan negara-negara kota Yunani lainnya yang disebut Liga Delios pada 477 SM. Liga ini bertujuan untuk melindungi Yunani dari invasi Kekaisaran Persia di masa mendatang. Lewat aliansi ini, perang dengan Persia bisa didanai.
Sayangnya, pandangan ini tidak sepaham dengan Sparta. Meski Sparta awalnya memimpin Liga Delos, kondisinya terisolasi. Liga ini kemudian dipimpin oleh Athena yang mendulang kebangkitan Zaman Keemasan karena upeti. Kemudian, Sparta melihat apa yang dilakukan Athena sebenarnya adalah pembentukan imperialisme.
Bisa dibilang Liga Delos pada 454 SM merupakan Kekaisaran Athena dalam sejarah Yunani kuno. Hal ini membawa kecemburuan pada Sparta yang kemudian menghidupkan liga lamanya, Liga Peloponnesos.
Akhir dari Negara-Negara Kota Yunani
Puncak perseteruan Athena dan Sparta pecah dalam Perang Peloponnesia (431–404 SM). Negara-kota Korintus dari Liga Peloponnesos, mendesak Sparta untuk melakukan tindakan atas imperialisme Athena terhadap negara-negara kota lain di Yunani kuno.
Sparta mengultimatum Athena. Athena menolak dan memulai perang selama tiga dekade. Perang ini dimenangkan oleh Sparta dan Liga Peloponnesos yang didukung Kekaisaran Persia. Sparta memperkuat pengaruhnya pada Athena dengan mendirikan Tiga Puluh Tiran.
Dampak Perang Peloponnesia adalah kemerosotan negara-negara kota Yunani kuno, terutama masalah ekonomi. Dana yang seharusnya digunakan untuk menghadapi ancaman kekuatan asing, bahkan terkuras untuk perang sesama negara kota Yunani.
Perang Peloponnesia ini berdampak buruk pada negara-negara kota Yunani, terutama masalah ekonomi yang seharusnya dijaga menghadapi ancaman kekuatan asing. Kedua liga pun masuk ke masa lemah yang membuat Yunani kuno rentan diserang Kekaisaran Makedonia.
Kehancuran semakin kacau ketika Sparta semakin kuat dalam sejarah Yunani kuno. Perang Peloponnesia membuat sekutu-sekutu Sparta terasing dalam Liga Peloponnesos. Negara-negara kota Yunani kuno mulai tidak satu suara dengan Sparta ketika Sparta memulai kampanye ke Ionia pada 398 SM. Thebes bahkan mengganggu ekspedisi Sparta yang dipimpin Agesilaus.
Sparta unggul dalam perang ini, dengan dukungan Kekaisaran Persia yang dirajai Artahsastra II. Namun, konflik Athena dan Sparta terus terjadi dalam sejarah Yunani kuno untuk mengejar status hegemoni.
Perpecahan antara negara-negara kota di Yunani kuno membuka peluang bagi Philip II dari Makedonia untuk memperluas pengaruhnya. Kampanye Philip II bermula pada 338 dengan merebut Athena dan Thebes. Kampanye ini dilanjutkan ke selatan sampai ke Korintus.
Upaya penaklukkan oleh Makedonia berlangsung hingga Aleksander Agung muda, sebelum kelak memulai kampanye menjatuhkan Kekaisaran Persia. Philip II dan Aleksander Agung Makedonia menghendaki untuk menyatukan Yunani kuno yang terpecah belah dengan monarki.