Mitos Pertemuan Hernan Cornes dan Moctezuma yang Ubah Sejarah Aztec

By Sysilia Tanhati, Minggu, 24 Maret 2024 | 10:00 WIB
Pertemuan Raja Aztec Moctezuma dan penakluk Spanyol Hernan Cortes merupakan salah satu pertemuan paling penting dalam sejarah Aztec. Pertemuan tersebut memengaruhi kesejahteraan, kepercayaan, dan budaya jutaan orang yang tinggal di belahan bumi Barat. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id - Pertemuan Raja Aztec Moctezuma dan penakluk Spanyol Hernan Cortes merupakan salah satu pertemuan paling penting dalam sejarah Aztec. Pertemuan tersebut memengaruhi kesejahteraan, kepercayaan, dan budaya jutaan orang yang tinggal di belahan bumi Barat. Namun selama berabad-abad, para sejarawan hanya mengandalkan satu sisi cerita: dokumentasi Spanyol.

Pihak Spanyol membuat narasi rapi yang menggambarkan bagaimana Moctezuma saat bertemu Cortes dan pengiringnya. Sang raja dikisahkan dengan cepat menyerahkan kerajaannya yang luas, mengakui hak Ilahi Spanyol untuk mengambil alih wilayah dan rakyatnya.

Ketika pemberontakan dengan kekerasan terjadi, Spanyol mundur dengan sejumlah besar emas, lalu kembali dan mengepung ibu kota Aztec. Mereka menaklukkan Aztec dan menambah kejayaan Spanyol dengan wilayah barunya yang sangat besar. “Wilayah baru tersebut kemudian dikenal sebagai Meksiko,” tulis Jessica Pearce Rotondi di laman History.

Namun dokumentasi dari pihak Spanyol sarat dengan agenda pribadi dan politik. Pengetahuan dan laporan baru dari Suku Aztec dan keturunannya memberikan pencerahan baru mengenai pertemuan yang mengubah sejarah Aztec.

Berikut empat mitos tentang Suku Aztec, Moctezuma, dan apa yang sebenarnya terjadi saat Spanyol tiba.

Menurut catatan Spanyol, Moctezuma adalah pemimpin yang lemah

Saat menulis laporan ke Raja Spanyol, Hernan Cortes menyebutkan jika Moctezuma merupakan raja yang lemah. Benarkah demikian?

Kekaisaran Aztec yang menguasai Meksiko Tengah dari tahun 1429 hingga 1521 merupakan aliansi rangkap tiga antara negara-negara kota: Tetzcoco, Tlacopan, dan Tenochtitlan. Lebih dari 500 negara kecil yang terdiri dari sekitar 6 juta penduduk hidup di bawah kekuasaan aliansi tersebut.

Moctezuma diangkat menjadi huey tlahtoani, atau raja, Tenochtitlan pada tanggal 15 September 1502.

“Dia adalah seorang pejuang dan pemimpin militer yang dihormati yang mempertahankan kota dan budaya yang dinamis. Baik secara politik maupun ekonomi,” kata Buddy Levy, penulis Conquistador: Hernán Cortés, King Montezuma, and the Last Stand of the Aztecs. Kerajaan Moctezuma terus bertumbuh.

Tenochtitlan dua kali lebih besar dari Seville, ibu kota makmur di Spanyol selatan, tetapi dengan populasi sebanyak 10 kali lipat. Lokasinya yang memesona di sebuah pulau di tengah Danau Texcoco membuat pendatang Eropa terkagum-kagum. Mereka belum pernah melihat kota sebesar itu. Tenochtitlan memiliki piramida dan kuilnya yang menjulang tinggi, alun-alun dan kanal yang luas yang dilintasi penduduk setempat dengan kano.

Dalam suratnya kepada Raja Spanyol Carlos V, Kaisar Romawi Suci, Cortes menggambarkan jembatan di sana. “10 ekor kuda dapat berjalan sejajar,” tulisnya. Cortes juga melaporkan bahwa lapangan umum dengan pasar yang menjual makanan dan permata emas dan perak.

Kompleks istana Moctezuma mencakup kebun binatang dengan kandang burung, koleksi seni, gudang senjata, perpustakaan, dan taman.

Penguasa Aztec mulai mempelajari bahasa Spanyol segera setelah Cortes mendarat. “Orang Spanyol terus-menerus dikelilingi oleh mata-mata yang mengirimkan informasi kembali ke Moctezuma. Dia ingin belajar lebih banyak tentang dunia mereka. Dan tidak sulit membayangkan bahwa suatu hari, orang Spanyol bisa menjadi bagian dari dunianya,” kata Matthew Restall, penulis When Moctezuma Met Cortes.

Moctezuma memang tidak selemah seperti yang dilaporkan Cortes. Namun ia memiliki satu kelemahan: tidak menyadari besarnya ancaman Spanyol. Harus diakui jika kedatangan Cortes mengubah sejarah Aztec.

Suku Aztec percaya bahwa orang Spanyol adalah dewa yang dinubuatkan akan kembali

Hal ini mungkin tampak berlebihan bahwa Spanyol muncul untuk menaklukkan sebuah kerajaan yang kuat. Dan mereka dianggap sebagai dewa yang ditakdirkan untuk menjadi penguasanya. Namun hal itu memang benar adanya.

“Suku Aztec tidak percaya bahwa dewa mereka, Quetzalcoatl, ada di antara mereka. Mereka juga tidak terkesan dengan penampakan Bunda Maria atau salah satu orang suci Katolik,” tulis profesor sejarah Universitas Rutgers, Camilla Townsend dalam The Fifth Sun: A New History of the Aztecs.

Cortes—yang tidak pernah malu dengan eksploitasinya—juga tidak pernah menyebutkan dalam tulisannya bahwa ia dikira Quetzalcoatl. Gagasan tentang kembalinya dewa yang dinubuatkan adalah narasi umat Katolik yang digabungkan dengan mitologi Aztec seputar Quetzalcoatl, kata Restall. Narasi itu kemudian dipopulerkan pada abad ke-16 oleh misionaris Fransiskan yang datang untuk mengubah Suku Nahua menjadi Katolik.

The Florentine Codex, yang ditulis pada 1555 oleh Nahua yang terdidik dalam iman Fransiskan, menekankan nubuat sebagai cara untuk merasionalisasi penaklukan.

Moctezuma segera menyerah kepada Spanyol

Ketika berlayar ke Meksiko dari Kuba, Cortes adalah seorang penjahat yang menentang perintah Gubernur Kuba Diego Velasquez. Sang gubernur telah membatalkan ekspedisi penjelajahannya. “Cortes benar-benar keji,” kata Levy. Saat itu ia mencari wilayah untuk ditaklukkan dan kekayaan untuk dijarah atas nama Kerajaan Spanyol

Surat-suratnya kepada Raja Carlos V menjadi pembenaran ketidaktaatannya. Cortes menyatakan bahwa ia mengikuti aturan penaklukan Spanyol. Hal itu berarti memberikan kesempatan kepada Suku Aztec untuk tunduk pada Raja Spanyol dan Kristus.

Jika Moctezuma segera menyerah, hal itu akan menjadi sesuatu yang patut untuk dituliskan ke kampung halamannya. Akan tetapi tidak ada yang menulis surat ke Spanyol sampai hampir setahun kemudian. Pada saat itu, Spanyol menaklukkan Tenochtitlan dengan paksa.

“Sepanjang 235 hari, baik Cortes maupun orang Spanyol di Tenochtitlan tidak menulis laporan kepada raja atau siapa pun di luar kota. Mereka tidak merinci kendali mereka atas kota dan kekaisaran,” tulis Restall. “Namun mereka mengaku memiliki tinta dan kertas—untuk mengesahkan penyerahan Moctezuma.”

Keterangan langsung dari penduduk setempat menunjukkan kehidupan Moctezuma berjalan normal setelah ia menerima tamu-tamu Spanyolnya. Sang raja menerima duta besar, utusan menyampaikan penghormatan dan memberikan pidato publik. Sedangkan dalam suratnya yang kemudian kepada Raja Carlos, Cortes melaporkan bahwa Moctezuma pergi berburu dan berkeliling kota dengan rombongan. “Setidaknya selalu berjumlah 3.000 orang,” lapor Cortes.  

Pendeta dan sejarawan Spanyol Bartolome de Las Casas menulis surat kepada raja dan pejabat tinggi pengadilan. Ia menyampaikan bahwa penyerahan Moctezuma adalah sebuah kebohongan. Namun suratnya tidak diindahkan. Fakta penyerahan diri sangat penting untuk membenarkan pengepungan Tenochtitlan.

Cacar memusnahkan Suku Aztec

Berbagai wabah penyakit yang ditularkan di Eropa membinasakan Suku Aztec dalam beberapa dekade setelah tahun 1519. Wabah terbesar terjadi antara tahun 1545 hingga 1550, dilaporkan menewaskan 90 persen populasi di beberapa wilayah. Gelombang kedua cocoliztli yang misterius, kata Nahua untuk penyakit sampar, terjadi pada tahun 1576. Perkiraan jumlah korban tewas antara 7 dan 17 juta orang di dataran tinggi Meksiko. Penelitian baru menunjukkan bahwa penyebabnya mungkin bukan cacar, melainkan salmonella.

Para penyintas terpaksa beradaptasi dengan kehidupan dengan cara baru. Untuk mendapatkan tingkat keamanan tertentu dan status, diperlukan penerimaan terhadap agama Katolik.

“Keluarga Kerajaan Aztec terus mendapatkan hak istimewa setelah penaklukan selama beberapa generasi,” katanya. “Mereka adalah elite, penguasa lokal yang memiliki properti, kekayaan, dan kekuasaan.”

Putri Moctezuma, Tecuichpochtzin, yang kemudian dikenal sebagai Dona Isabel Moctezuma Tecuichpo, menikah dengan penakluk Juan Cano. Putra-putranya dianggap bangsawan Spanyol dan gelar turun-temurun mereka, Adipati Moctezuma de Tultengo, masih digunakan.

Setelah penaklukan, hanya sedikit orang yang mau mengakui kesalahannya. Terlalu banyak orang berkuasa yang ingin memperoleh sesuatu, baik itu hak milik, tanah, dan rampasan perang lainnya.

“Diperlukan waktu berabad-abad untuk mengubah Tenochtitlan menjadi Mexico City,” tulis Restall, “tetapi hanya perlu beberapa generasi untuk menyebarkan sejarah yang berbeda. Untuk menceritakan serangkaian kebohongan tentang Moctezuma dan Suku Aztec dan menjadikannya sebagai kebenaran sejarah Aztec.”