Kisah Tragis Raja Palsu di Asiria saat Gerhana Matahari Total Terjadi

By Sysilia Tanhati, Senin, 25 Maret 2024 | 13:00 WIB
Dalam sejarah dunia kuno, para tawanan di Kerajaan Asiria cemas menjelang gerhana matahari total. Apa sebabnya? (Lutfar Rahman Nirjhar/CC BY 3.0)

Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah dunia kuno, para tawanan di Kerajaan Asiria cemas menjelang gerhana matahari total. Persiapan dilakukan dan semua orang penuh dengan antisipasi. Apa yang membuat mereka cemas?

Bila Anda adalah tawanan perang di Niniwe, ibu kota Kerajaan Asiria, maka Anda punya alasan kuat untuk merasa takut.

Bangsa Asiria memuja Dewa Matahari, Dewa Bulan, dan dewa langit lainnya. Maka tidak heran jika gerhana Matahari total memiliki makna spiritual dan politik yang luar biasa. Di masa itu, Kerajaan Asiria memiliki pendeta langit.

“Para pendeta langit kerajaan adalah peramal alam yang terampil,” tulis Rebecca Boyle di laman Atlas Obscura. Mereka mempelajari pergerakan bulan, planet-planet, dan bintang-bintang untuk membaca pertanda dari para dewa. Para pendeta menyadari jika gerhana total bisa menjadi pertanda buruk bagi kerajaan mereka. Jika gerhana tersebut diperkirakan akan terjadi di Asiria, seperti yang terjadi pada bulan Juni 763 SM, gerhana tersebut akan menandakan kematian raja.

Dan inilah sebabnya mengapa rakyat cemas. Mereka telah mendengar rumor tersebut dan tidak ingin dipilih untuk menjadi raja sehari.

Di seluruh kelompok budaya dan dinasti politik di setiap benua, gerhana matahari dan bulan menjadi peristiwa spiritual dan budaya. “Pengusiran” matahari ke belakang bulan khususnya telah mewakili banyak hal. “Misalnya naga iblis yang melahap matahari baik dalam kepercayaan Inca maupun Tiongkok. Atau kematian matahari dalam kosmologi Navajo Dine,” tambah Boyle.

Di Mesopotamia utara, pada abad ke-10 SM, para pendeta mengetahui bahwa jika planet Jupiter terlihat saat gerhana melintas di atas kepala, maka raja akan dikutuk. Para ilmuwan di kerajaan dapat memprediksi gerhana. Dan para pendeta menggunakan informasi tersebut untuk melakukan tindakan pencegahan yang dapat mengurangi pertanda buruk tersebut. Atau setidaknya mengalihkan kutukannya kepada orang lain.

Ritual yang paling penting disebut sar puhi dalam bahasa Akkadia, yang berarti “ritual pengganti raja”. Ritual ini adalah salah satu pengorbanan manusia yang paling rumit namun kurang dikenal pada zaman dahulu. Jika para pendeta meramalkan pertanda buruk pada gerhana yang akan datang, raja yang sebenarnya akan bersembunyi. Sementara itu, penggantinya akan ditempatkan sebagai penggantinya selama beberapa hari hingga tiga bulan.

Raja pengganti akan menikmati semua perlengkapan pemerintahan sebelum dibunuh secara ritual untuk memenuhi ramalan. Dia akan diberi anggur dan makan malam, diberikan hadiah, dan bahkan diberikan seorang ratu sebagai pendampingnya. Sementara itu, raja kerajaan akan terus menjalankan urusan istana di suatu tempat yang aman dan tidak terlihat.

Pada hari yang tepat, yang ditentukan oleh peramal dan astrolog kerajaan, si pengganti pun dikorbankan. Terkadang orang tersebut diberi minuman beracun; terkadang dia menemui ajalnya dengan cara yang lebih kejam. Namun hanya setelah raja pengganti terbunuh barulah raja yang sebenarnya dapat melanjutkan tugasnya di depan umum.

Ritual pengganti berlanjut hingga abad kedua SM. Catatan terakhir mengenai tradisi pergantian raja berasal dari tahun 194 SM, jauh setelah jatuhnya Babilonia ke tangan Kekaisaran Persia.