Letusan Super Gunung Toba Picu Migrasi Manusia Keluar Afrika

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 26 Maret 2024 | 18:00 WIB
Sebuah ilustrasi untuk menggambarkan letusan Gunung Toba yang merupakan letusan gunung berapi terbesar dalam 2 juta tahun terakhir. Dampaknya mendorong migrasi manusia keluar dari Afrika sekitar 74.000 tahun yang lalu. (Steve Self, University of California-Berkeley)

Nationalgeographic.co.id—Gunung Toba di Sumatra pernah meletus hebat pada 74.000 tahun lalu, sebelum berangsur-angsur menjadi danau yang indah. Letusan vulkanik super itu menyisakan jejak sampai pada peninggalan purbakala di Tanduk Afrika (Somalia, Djibouti, dan Etiopia hari ini).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan lebih dari 60 peneliti, letusan vulkanik super Gunung Toba mendorong adaptasi manusia karena perubahan lingkungan. Adaptasi ini mendorong manusia untuk bermigrasi keluar Afrika, menyebar ke penjuru dunia.

Penyelidikan tentang pengaruh letusan vulkanik super Gunung Toba ke Afrika sudah diketahui sebelumnya. Dampaknya bahkan sampai ke Pinnacle Point di Afrika Selatan (sekitar 350 kilometer dari Cape Town).

"Letusan Toba mungkin telah mengubah lingkungan di Afrika, namun masyarakat beradaptasi dan bertahan dari perubahan lingkungan yang disebabkan oleh letusan tersebut," ujar Curtis Marean, peneliti dari Institute of Human Origins, School of Human Evolution and Social Change, Arizona State University, dikutip dari Eurekalert.

Marean merupakan salah peneliti dari temuan terbaru ini. Hasilnya mengubah dugaan sebelumnya tentang proses migrasi manusia keluar Afrika.

Sebelumnya, para ilmuwan sempat memperkirakan penyebaran manusia kurang dari 100.000 tahun yang lalu terjadi pada "koridor hijau" yang terbentuk dari periode lembap di Afrika. Menyusuri "koridor hijau" ini membantu manusia mendapatkan makanan berlimpah dan bergeser ke luar Afrika.

Penelitian terbaru ini justru mengungkapkan bahwa migrasi manusia ke luar dari Afrika terjadi pada selama periode kering di sepanjang "jalur besar biru" dari sungai musiman. Periode kering ini disebabkan perubahan iklim dari dampak letusan super Gunung Toba.

Para peneliti menemukan berbagai peralatan memasak, bekas makanan, perkakas batu yang mewakili bukti tertua, dan sisa-sisa praktik memanah. Berdasarkan analisis penanggalan arkeologi, sisa-sisa ini berusia sama. 

Ada pun batu-batu kecil yang diduga adalah mata berusia sekitar 74.000 tahun. Temuan ini mungkin menjadi bukti tertua kebiasaan manusia belajar memanah, terang para peneliti.

Hasil temuan ini dipublikasikan di jurnal Nature pada 20 Maret 2023. Makalah tersebut bertajuk "Adaptive foraging behaviours in the Horn of Africa during Toba supereruption". Penelitian ini dipimpin oleh John Kappelman, antropolog dari The University of Texas.

Dampak iklim dari letusan super Gunung Toba menyebabkan musim kemarau yang panjang di Afrika. Manusia prasejarah yang tinggal di sekitar tempat mereka teliti sangat bergantung pada ikan air tawar. Kemarau panjang ini mendorong manusia untuk mencari sumber daya, berpindah keluar jauh dari tempat asalnya demi mendapatkan makanan.

Sungai ini terungkap setelah tim menyelidiki Shinfa-Matema 1, situs arkeologi di dataran rendah barat luat Etiopia. Situs tersebut terletak di sepanjang Sungai Shinfa, anak sungai dari Sungai Nil Biru.