"Ketika orang-orang menghabiskan makanan di dalam dan di sekitar sumber air pada musim kemarau, mereka kemungkinan besar terpaksa pindah ke sumber air baru," kata Kappelman.
"Sungai musiman berfungsi sebagai ‘pompa’ yang menyedot populasi melalui saluran dari satu sumber air ke sumber air lainnya, sehingga berpotensi mendorong penyebaran ke luar Afrika."
Selain bukti arkeologis, para peneliti juga mendokumentasikan berbagai pecahan kaca kecil yang berusia sekitar 74.000 tahun. Hasil penelitian tersebut menyingkap kandungan kimianya yang cocok dengan Gunung Toba purba di Sumatra.
Berdasarkan geokimia isotop gigi fosil mamalia dan cangkang telur burung unta yang merupakan sisa makanan, para peneliti menyimpulkan situs ini tidak permanen dihuni oleh manusia purbakala. Pemukiman ini dihuni selama musim kemarau panjang yang setara dengan beberapa habitat paling kering secara musiman di Afrika Timur saat ini.
Ada pun temuan lain dari sisa-sisa makanan ini menunjukkan, aliran sungai terhenti selama musim kemarau. Namun, masyarakat purbakala yang tinggal di situs ini pergi berburu hewan lain, selain ikan. Kemungkinan hewan-hewan tangkapan ini berkumpul di tempat sumber air yang tersisa untuk diminum.
Tangkapan ikan juga lebih mudah bagi manusia yang menghuni situs ini kala kemarau. Ikan terperangkap di kolam atau lubang air yang tersisa. Menangkap ikan bisa dilakukan tanpa peralatan khusus. Perlahan-lahan, mereka bergantung pada ikan, dan terus mengonsumsinya.
Meski demikian, para peneliti memperkirakan bahwa masyarakat purbakala di Shinfa-Metema 1 bukan bagian dari kelompok yang meninggalkan Afrika. Akan tetapi, kondisi yang dialami manusia di sini mendorong adaptasi yang disebabkan perubahan iklim yang mendadak terjadi, seperti letusan super Toba.
Hal ini mendorong kelompok manusia lainnya di Afrika pada Zaman Batu Pertengahan di Afrika bermigrasi dan berkembang ke seluruh dunia.