Nationalgeographic.co.id—Ramadan, sebagai bulan ketika umat Islam berpuasa, mengajarkan kita untuk menahan nafsu dan lapar. Selama sebulan pula, agama Islam mengajarkan kita untuk mengurangi konsumsi yang biasanya berlebih di luar bulan suci Ramadan.
Atas dasar ini, sejumlah organisasi pegiat lingkungan yang tergabung dalam Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK) menginisiasi gerakan Green Ramadan. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk bisa berpartisipasi aktif menerapkan gaya hidup berkelanjutan selam Ramadan, demi mewujudkan pelestarian lingkungan dan berkelanjutan.
"Kami akan terus mengajak masyarakat menerapkan gaya hidup berkelanjutan," kata Dolly Priatna, Ketua KFLHK sekaligus Direktur Eksekutif Belantara Foundation dalam sebuah pernyataan 26 Maret 2024.
"Harapannya, melalui gerakan ini, kita dapat mendukung target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development goals)," lanjutnya.
Green Ramadan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. Hal ini juga selaras dengan semangat Ramadan yang seharusnya membuat kita mengurangi konsumsi berlebih, ungkap Arif Rahmadi, General Manager Dompet Dhuafa.
Ajaran seperti ini merupakan contoh gaya hidup berkelanjutan yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari, termasuk menghemat air dan listrik. Tren takjil menjelang buka juga merupakan bagian dari gaya hidup berkelanjutan karena mendukung produk lokal.
Demi mengurangi sampah dan polusi selama Ramadan, gerakan Green Ramadan mengajak untuk membawa tas belanja, botol minum, alat makan rumah lingkungan, menggunakan transportasi umum, dan melakukan 3R (reduce pengurangan penggunaan, reuse atau guna ulang, recycle atau daur ulang).
"Di Bulan Ramadan ini kami berkomitmen mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai dengan cara berbagi eco-takjil yang menggunakan kemasan ramah lingkungan sebanyak 3.150 paket di 24 wilayah di seluruh Indonesia," terang Arif.
Aktivitas ini juga bertujuan untuk memperkuat dan melakukan pendampingan para UMKM, terutama yang terlibat dalam eco-takjil. Pemberadayaan ini mendorong produksi dagangan takjil yang lebih ramah lingkungan, dan pengelolaan sampah.
Selama ini, sampah merupakan hal krusial dalam pelestarian lingkungan di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan, penimbunan sampah di Indonesia meningkat sebesar 20 persen pada Ramadan 2023 lalu.
Komposisi sampah tertinggi didominasi sampah organik seperti sisa makanan sebesar 41,2 persen yang diikuti sampah plastik sebesar 18,2 persen. Sampah yang tidak terkontrol dapat mencemari berbagai ekosistem dan merusak kesehatan.
Belum lagi, sampah di Indonesia mencemari garis pantai dan kawasan lautnya. Sampah ini berasal dari daratan yang tidak tertangani dengan baik. Oleh karena itu, meminimalisasi produksi sampah selama Ramadan sangat diperlukan.