19 Tahun National Geographic Indonesia Merayakan Pusparagam Kehidupan

By National Geographic Indonesia, Jumat, 29 Maret 2024 | 17:53 WIB
Didi Kaspi Kasim, Editor National Geographic Indonesia, memberikan pemantik diskusi dalam tajuk Era Baru Penjelajahan: Merayakan Pusparagam Kehidupan, yang digelar di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Perhelatan ini merupakan bagian pembuka perayaan 19 tahun majalah bingkai kuning ini menjelajahi Nusantara. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Sembilan belas tahun silam, untuk pertama kalinya sampul majalah bingkai kuning ini tampil dalam edisi bahasa Indonesia. Peluncuran edisi perdana itu digelar di Gedung Arsip Nasional yang tampak anggun berpendar pada malam hari, 28 Maret 2005.

Majalah edisi pertama yang menggegerkan. Pertama, karena kemunculannya yang mengentak pembaca Indonesia. Kedua, sampulnya menampilkan Homo floresiensis, temuan kerangka manusia katai dari Flores yang menggegerkan dunia. Belakangan, orang-orang menyebutnya Mama Flo. Pada peluncuran itu dipamerkan juga kranium Mama Flo.

Sampul edisi April itu menampilkan seraut wajah Mama Flo dengan mata yang seolah membelalak. Sosok itu direkonstruksi oleh John Gurche, yang pernah menjadi konsultan film Jurasic Park. Edisi pertama itu menyajikan kisah feature bertajuk "Mereka yang Terlewat Waktu" yang ditulis oleh Mike Morwood, Thomas Sutikna, dan Richard Robberts. Fotografer yang bertugas, Kenneth Garrett.

Homo floresiensis di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, menjadi tema perdana di National Geographic Indonesia. Penyinkapan arkeologis ini masih menimbulkan tanda tanya tentang peradaban purba manusia di kepulauan Indonesia. (National Geographic Indonesia)

Nasru Alam Aziz, jurnalis harian Kompas, mencatat tentang malam bersejarah yang dihadiri Jakob Oetama, yang saat itu sebagai Publisher dan Direktur Kelompok Kompas Gramedia.

"Jakob Oetama dalam sambutannya menekankan pentingnya mengenal Indonesia dari bawah, yaitu melalui interaksi dan kebersamaan," tulisnya. "Menurut Jakob, kehadiran National Geographic Indonesia dapat menjadi salah satu sarana untuk mengenal atau menemukan kembali Indonesia."

Kini, National Geographic Indonesia telah 19 tahun menjelajahi Nusantara dan mengajak masyarakat untuk lebih peduli pada Bumi. Setiap bulannya National Geographic Indonesia menyajikan kisah-kisah upaya pelestarian dari penjuru dunia. Perhatiannya meliputi geografi, arkeologi dan ilmu alam, promosi konservasi lingkungan, studi budaya dan sejarah dunia.

Jakob Oetama, selaku Publisher dari National Geographic Indonesia dan Direktur kelompok Kompas Gramedia, memberikan sambutan pada peluncuran majalah bingkai kuning itu pada 28 Maret 2005. (Ahmad Zamroni)

Peringatan tahun ini bertajuk "Era Baru Penjelajahan: Merayakan Pusparagam Kehidupan". Perayaan digelar di Lecture Hall, New Media Tower, Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang, pada 28 Maret 2024. Samiaji Bintang Nusantara, Kepala Program Studi Jurnalistik UMN, dalam sambutan acara, mengungkapkan kegembiraannya atas perhelatan ini karena mendekatkan mahasiswa dan praktisi media.

Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, dalam perhelatan ini mengungkapkan bahwa kita telah tiba di era Antroposen, suatu zaman yang ditandai oleh jejak perilaku manusia di muka Bumi. Perlu gagasan-gagasan baru untuk menginspirasi orang untuk peduli pada Bumi.

Menurutnya, setiap generasi memiliki pendekatannya sendiri, sehingga generasi mahasiswa sekarang memiliki kontribusi besar dalam mengubah perilaku masyarakat untuk lebih peduli pada Bumi.

Majalah bingkai kuning ini meyakini kekuatan sains, penjelajahan, dan cara bertutur yang mengubah dunia. Ia berharap, negeri ini memiliki caranya sendiri untuk mempromosikan pelestarian dan mengurai permasalahan terkini terkait lingkungan.

"Kita tidak bisa menggunakan cara-cara selama 19 tahun ini dalam menjaga Bumi," ucapnya. "Kita harus menyerahkan tongkat estafet ini kepada generasi sekarang."

Dalam pembahasan sesi pertama tentang Era Baru Penjelajahan, Mahandis Yoanata selaku Managing Editor National Geographic Indonesia, mengungkapkan bahwa "hari ini kita merayakan asal-usul jiwa kita yang tak pernah lelah mengembara."

Pemaparan awak National Geographic Indonesia tentang Seri Ekspedisi Pusparagam Kehidupan, sebuah perjalanan muhibah demi menyingkap keanekaragaman kehidupan dan budaya di Indonesia. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Sejak spesies manusia modern meninggalkan Afrika 60.000 tahun lalu, dorongan untuk melintasi batas pengetahuan manusia telah membentuk kebudayaan kita. Dan, sampai hari ini dorongan untuk menjelajah itu tetap kuat, paparnya.

"Penjelajahan merupakan kegiatan yang telah dilakukan ras manusia sejak lahir, ungkap Yoanata. "Penjelajahan pula yang mampu mendefiniskan kehidupan kita dengan lebih baik—yang mungkin juga mampu membuat kita semakin kenal terhadap dunia dan sekitarnya."

National Geographic merupakan jurnal resmi dari National Geographic Society, sebuah organisasi nirlaba di bidang keilmuan dan pendidikan yang berpusat di Washington, D.C,  Amerika Serikat. Selama lebih dari 130 tahun, National Geographic telah menginspirasi publik untuk lebih peduli pada planet ini.

Mahandis Yoanata, Managing Editor National Geographic Indonesia, memaparkan poster dua sisi hasil Seri Ekspedisi Pusparagam Kehidupan yang pertama, Pusparagam Cycloop. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Edisi bahasa Indonesia hadir sejak April 2005, yang lisensi penggarapannya oleh Grid Network—divisi Kompas Gramedia. Selama bentang 19 tahun, National Geographic Indonesia menyingkap rangkaian kebinekaan Nusantara dalam misi-misi penjelajahan.

Dari nyanyian owa jawa sampai auman sendu harimau sumatra. Dari sebaran jejak kejayaan Sriwijaya, misteri danau Borobudur, sampai keagungan metropolitan Majapahit. Dari kisah pasukan pemadam kebakaran kota sampai dilema pencari suaka. Dari pemetaan burung-burung di Nusantara sampai pemetaan satwa lautnya. Dari dunia baru kehidupan pada skala mikroskopis sampai mendokumentasikan keberagaman alam, bahkan ketika kehidupan ini menuju kepunahan.

Ilmu pengetahuan berperan dalam mengubah cara pandang kita tentang kehidupan. Penemuan teknologi di setiap peradaban merupakan jawaban peradaban itu dalam meretas kesulitan. Salah satu penelitian telah menunjukkan cara pandang nenek moyang kita terhadap alam, yang mungkin memberi gagasan kepada kita tentang bagaimana seharusnya hidup berbudaya bersama alam. 

Utomo Priyambodo, berbagi cerita tentang penugasannya sebagai Writer di National Geographic Indonesia. Toms, sapaan akrabnya, menguraikan persiapan ekspedisi sampai teknik menulis yang bertutur. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Dalam sesi kedua, majalah bingkai kuning ini mengajak peserta untuk berdiskusi dalam topik Seri Ekspedisi Pusparagam Kehidupan yang digulirkan sejak 2020. Ekspedisi ini merupakan perjalanan muhibah demi mengungkap keanekaragaman kehidupan dan budaya di Indonesia. 

"Indonesia adalah mukjizat keberagaman," ujar Yoanata saat mengantar pembahasan. Bentang negeri kepulauan ini memiliki kekayaan ragam budaya, suku bangsa, ras, puspa dan satwa, bahkan ragam batuan Bumi yang kita pijak.

Keberagaman manusia yang menghuninya pun melahirkan ragam sudut pandang, cara berpikir dan bertindak dalam menyiasati kehidupan. Namun, bagaimanakah nasib mukjizat keberagaman itu ketika populasi kita mencapai delapan miliar? Kita pun dituding sebagai penghancur pusparagam kehidupan di Bumi. Apa yang harus kita lakukan demi mengakhiri tragedi?

Ricky Martin, Videographer National Geographic Indonesia, berbagi kisahnya dalam mendokumentasikan pusparagam puspa, satwa, dan budaya melalui kamera video. Dalam setiap penugasan, Ricky mengutamakan proses kreatif dalam pembuatan produk jurnalistik. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Pemparan ini menampilkan empat sampul dan sisipan poster dua sisi yang mendampinginya. "Degup Cycloop" yang terbit pada edisi Januari 2021, berkisah tentang Cagar Alam Pegunungan Cycloop dan kawasan penyanganya di Papua; "Permata Air Hitam" yang terbit pada November 2021, berkisah tentang ancaman dan upaya pelestarian alam di kawasan Mahakam Tengah, Kalimantan Timur; "Pusparagam Lore Lindu" yang terbit pada edisi Desember 2021, berkisah tentang kelindan manusia dan cagar biosfer di jantung Wallacea, Sulawesi Tengah; dan "Bersenyawa di Paya Papua" yang terbit pada edisi Januari 2023, berkisah tentang keanekaragaman hayati di Taman Nasional Wasur dan bagaimana budaya setempat mampu berdenyut bersama.

Utomo Priyambodo, Writer National Geographic Indonesia, mengisahkan perjalanannya dalam penugasan di Mahakam Tengah. Sebagai penulis, ia mempersiapkan penugasan itu dengan riset pendahuluan sehingga mendapat gambaran yang jelas tentang kawasan dan narasumber. Dalam pemaparannya berjudul Menyusun Kisah Penjelajahan National Geographic Indonesia, ia mengungkapkan bahwa saat menghimpun informasi di lapangan, ia biasa menyerap pengetahuan dan hal detail melalui pancaindranya.

Ricky Martin, Videografer National Geographic Indonesia, berbagi pengalamannya selama lima tahun terakhir bersama majalah bingkai kuning ini. Ia menegaskan bahwa National Geographic Indonesia mengutamakan proses kreatif dalam setiap pembuatan produk jurnalistik.

Donny Fernando berbagi kisah penugasannya di Mahakam Tengah, Cagar Biosfer Lore Lindu, dan Taman Nasional Wasur dalam bingkai Fotografi Jurnalistik dalam Era Penjelajahan Baru. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Donny Fernando, Fotografer National Geographic Indonesia, mengungkapkan pendekatan potret totemisme masyarakat adat Wasur sebagai teladan leluhur memuliakan puspa dan satwa. (Warsono/National Geographic Indonesia)

"Dalam membuat sebuah liputan video dokumenter, National Geographic Indonesia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait tema-tema pusparagam Nusantara," kata Ricky. "Untuk itu diperlukan riset-riset melalui sumber-sumber informasi primer,sekunder dan tersier."

Bagaimana fotografer National Geographic Indonesia bekerja? Donny Fernando, yang juga alumni Universitas Multimedia Nusantara, membagikan kisahnya kepada audiens dan para juniornya.

Donny menyampaikan bagaimana kisah-kisah Ekspedisi Pusparagam Kehidupan dalam sudut pandang visual. "Dalam National Geographic Indonesia kini, narasi visual tidak hanya sekadar kehidupan satwa dan juga alam, melainkan kisah manusia dan dampaknya pada lingkungan dan iklim."

Dalam pemaparannya, Donny juga berbagi kisah-kisah penugasannya. Ketika penugasan untuk Pusparagam Mahakam, ia berupaya menceritakan dari aspek visual dari dampak perubahan iklim yang nyata dirasakan petani desa yang gagal panen.

Populasi manusia telah mencapai delapan miliar. Bagaimana upaya kita mengurangi limbah fesyen? Sampul majalah National Geographic Indonesia April 2024, yang sekaligus bagian perayaan 19 tahun majalah bingkai kuning ini di Indonesia. (National Geographic Indonesia)

Ketika Ekspedisi Pusparagam Wasur, ia menangkap simbol-simbol totemisme masyarakat adat yang divisualkan dalam potret mereka. Sementara itu dalam penugasan untuk Pusparagam Lore Lindu, ia menceritakan tantangan masyarakat adat melalui potret seorang warga yang menggagas sekolah adat sebagai bentuk warisan kebudayaan pada generasi berikut. 

"Dalam Era Baru Penjelajahan, kita tidak terpaku pada seberapa jauh kita melangkah, seberapa tinggi kita mendaki, atau seberapa dalam kita menyelam—pun penjelajahan bisa dilakukan di manapun, bahkan di halaman belakang rumah kita," ujar Yoanata dalam kata penutup acara ini. "Namun hal yang terpenting dalam Era Baru Penjelajahan ini adalah seberapa besar kontribusi kita kepada sains, upaya dan dukungan kita dalam pelestarian."

Perihal populasi delapan miliar yang berdampak pada kesehatan Bumi, ia menambahkan, "Permasalahan yang ditimbulkan populasi pada dasarnya tidak bisa diselesaikan dengan sains saja, tetapi juga moral dan etika dari diri kita masing-masing."