Peneliti BRIN: Bagi Orang Rimba di Jambi, Tak Ada Bunga Tak Ada Dewa

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 30 Maret 2024 | 20:00 WIB
Anak-anak rimba menempuh perjalanan menuju lokasi belajar bersama dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. (Irma Tambunan/Kompas)

Kemajuan dunia saat ini menjadikan dua sudut pandang, yakni perubahan struktur alam dan hilangnya orisinalitas ekosistem alam. Ekosistem alam tidak hanya berupa flora dan fauna yang dapat terlihat, tetapi juga ada ekosistem yang tidak tampak seperti suara alam. Demikian pengantar yang menjadi pembuka diskusi daring bedah buku Suara Alam dari Komunitas Kita oleh Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN Herry Jogaswara.

Herry menjelaskan tema buku tersebut merupakan hasil riset dari Kelompok Riset di PR BSK BRIN pada 2024. Herry menyarankan, semua hasil riset yang dituangkan informasinya dalam buku seperti ini bisa didiskusikan dengan masyarakat secara langsung. Tentunya untuk mendapat tanggapan dan masukan agar lebih baik dan lebih lengkap.

Sementara itu Kepala PR BSK BRIN Ade Mulyanah dalam pengantar diskusinya mengungkapkan, diskusi akan menjadi satu tradisi yang baik sebagai kontribusi dari para peneliti untuk masyarakat dan akan terus dilakukan.

Ade menekankan, tujuan penulisan buku tersebut untuk menyadarkan penghuni bumi agar mengubah gaya hidup dari perusak bumi menjadi pemelihara bumi. "Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang bahasa dan sastra yang dikaitkan dengan lingkungan dan ekologi,” harapnya.

Dewi Candra Ningrum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang menjadi editor buku ini mengatakan, buku tersebut merupakan artefak politik budaya dan ekologi yang sangat dibutuhkan saat ini dan yang akan datang. "Tulisan-tulisan di dalamnya, banyak menarasikan dokumentasi tentang air, vegetasi, beragam spesies. Kemudian saling bersinggungan secara multi matra dengan tradisi dan modernitasnya,” ungkap Dewi.

Lalu ia juga menjelaskan tentang pisau analisis dalam kerangka pendekatan kritis yang menjadi pijakan dalam menarasikannya. Diharapkannya, agar pembaca tidak sekadar membaca, tetapi juga bisa mulai mendokumentasikan bermacam hal yang berkaitan. Seperti suara alam, gambar alam, narasi tubuh air, kronologi tradisi makna upacara adat, dan lain-lain.

Sementara Joko Saryono dari Universitas Negeri Malang yang juga editor buku ini mengatakan, buku tersebut berfungsi sebagai "mengekskavasi khazanah lokal, mengarusutamakan suara alam."

Ditambahkan Joko, buku tersebut mengungkapkan bagaimana suara alam dari komunitas merupakan khazanah lokal ekokultural yang diteliti oleh komunitas cendekia profesional, khususnya tentang suara orkestra ekologis-ekofonis.

"Secara dikotomis, keadaan tersebut menggambarkan hal-hal penting, yaitu terdapat kekenyalan dan kelenturan berbagai khazanah lokal ekokultural, pada saat berhadapan berbagai khazanah yang datang baik itu nasional ataupun global,” terangnya.

Dengan berbagai siasat dan cara apapun, entah adaptasi, indigenisasi, akulturasi, asimilasi atau responsi, berbagai khazanah lokal ekokultural ini mempertahankan bahkan menguatkan keberlangsungan dan keberlanjutan eksistensinya.