Peneliti BRIN: Bagi Orang Rimba di Jambi, Tak Ada Bunga Tak Ada Dewa

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 30 Maret 2024 | 20:00 WIB
Anak-anak rimba menempuh perjalanan menuju lokasi belajar bersama dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. (Irma Tambunan/Kompas)

Nationalgeographic.co.id—Jauh di pedalaman Jambi, sekelompok suku masyarakat hidup menyatu dengan rimba raya dan mereka dipanggil sebagai Orang Rimba. Yeni Yuliyanti, peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan istilah tak ada bunga tak ada dewa melekat pada Orang Rimba, sebuah suku yang berada di kawasan perkebunan kelapa sawit pedalaman Jambi.

Mereka percaya akan kelangsungan kehidupan di alam yang merupakan kuasa Tuhan atas kelangsungan hidup mereka. Pernyataan tersebut disampaikan Yeni pada diskusi daring bedah buku Suara Alam dari Komunitas Kita, Kamis (21/03).

Yeni merupakan salah seorang perwakilan penulis yang membedah buku tersebut dengan menyampaikan paparan berjudul “Tak Ada Bunga, Tak Ada Dewa, Suara Alam, dan Seloka Orang Rimba”. Dalam penelitian yang dilakukan kurang lebih 45 hari di komunitas Orang Rimba, Yeni menceritakan bagaimana kecerdasan berbahasa dan bersastra Orang Rimba yang disebut seloka. Menurut pengamatannya, Orang Rimba lihai berseloka dalam kehidupan sehari-hari.

Dikatakan Yeni di dalam Sastra Melayu, seloka termasuk dalam puisi bebas tetapi juga merupakan peribahasa atau pepatah yang di dalamnya diberi sampiran dan berirama. "Seloka Orang Rimba mengandung nasihat-nasihat cara menghargai alam, dan hidup berdampingan dengan alam. Karena alam telah memberi penghidupan untuk mereka,” jelasnya.

Peneliti BRIN memaparkan hasil risetnya mengenai Orang Rimba di Jambi. (BRIN)

Yeni menyampaikan juga tentang sebaran Orang Rimba yang meliputi 3 kawasan, yaitu perkebunan kelapa sawit sebanyak 33% atau 1.807 jiwa. Kemudian di kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri terdapat 15% atau 837 jiwa, dan di dalam kawasan Tutupan Hutan sejumlah 52% atau 2.842 jiwa.

Saat ini komunitas di pedalaman seperti Orang Rimba, merasakan bagaimana hutan yang menjadi sandaran hidup mereka tidak bisa secara penuh dan utuh diklaim sebagai wilayah penghidupan mereka. Juga tidak bisa dikelola berdasarkan kearifan dan pengetahuan yang mereka miliki.

Konsesi dan peruntukan lahan yang ditentukan pemerintah dan perusahaan, tentu saja mengusik tatanan komunitas yang sudah ratusan tahun hidup bersama dengan hutannya. Perusahaan-perusahaan beraktivitas membuka hutan, begitu pula warga transmigrasi. Kemudian hadirnya perusahaan sawit menjadi tantangan yang selanjutnya menjadi ancaman kehidupan Orang Rimba.

Hutan sangat erat kaitannya dengan komunitas Orang Rimba. Bukan hanya tempat berlindung, hutan merupakan etalase berbagai kebutuhan, penyedia air dan udara bersih, tempat mencari makan, serta berburu. Juga sumber obat-obatan, dan yang tak kalah penting, hutan sebagai pembentuk memori dan penjaga identitas komunitas adat.

Luasan hutan di indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun akibat dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan, program transmigrasi, dan hutan tanaman industri. Pelan namun pasti mengikis identitas bahkan rasa percaya diri dari komunitas yang menggantukan hidupnya dari hutan alami.

Di dalam buku inilah para peneliti melihat bagaimana suara alam dari komunitas Orang Rimba yang menggunakan sastranya yang disebut seloka. Tradisi suara alam ini memengaruhi mereka untuk terus menjaga ekosistem kehidupan di alam yang berdampingan dengan manusianya.

Kontribusi Bidang Bahasa dan Sastra

Kemajuan dunia saat ini menjadikan dua sudut pandang, yakni perubahan struktur alam dan hilangnya orisinalitas ekosistem alam. Ekosistem alam tidak hanya berupa flora dan fauna yang dapat terlihat, tetapi juga ada ekosistem yang tidak tampak seperti suara alam. Demikian pengantar yang menjadi pembuka diskusi daring bedah buku Suara Alam dari Komunitas Kita oleh Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN Herry Jogaswara.

Herry menjelaskan tema buku tersebut merupakan hasil riset dari Kelompok Riset di PR BSK BRIN pada 2024. Herry menyarankan, semua hasil riset yang dituangkan informasinya dalam buku seperti ini bisa didiskusikan dengan masyarakat secara langsung. Tentunya untuk mendapat tanggapan dan masukan agar lebih baik dan lebih lengkap.

Sementara itu Kepala PR BSK BRIN Ade Mulyanah dalam pengantar diskusinya mengungkapkan, diskusi akan menjadi satu tradisi yang baik sebagai kontribusi dari para peneliti untuk masyarakat dan akan terus dilakukan.

Ade menekankan, tujuan penulisan buku tersebut untuk menyadarkan penghuni bumi agar mengubah gaya hidup dari perusak bumi menjadi pemelihara bumi. "Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang bahasa dan sastra yang dikaitkan dengan lingkungan dan ekologi,” harapnya.

Dewi Candra Ningrum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang menjadi editor buku ini mengatakan, buku tersebut merupakan artefak politik budaya dan ekologi yang sangat dibutuhkan saat ini dan yang akan datang. "Tulisan-tulisan di dalamnya, banyak menarasikan dokumentasi tentang air, vegetasi, beragam spesies. Kemudian saling bersinggungan secara multi matra dengan tradisi dan modernitasnya,” ungkap Dewi.

Lalu ia juga menjelaskan tentang pisau analisis dalam kerangka pendekatan kritis yang menjadi pijakan dalam menarasikannya. Diharapkannya, agar pembaca tidak sekadar membaca, tetapi juga bisa mulai mendokumentasikan bermacam hal yang berkaitan. Seperti suara alam, gambar alam, narasi tubuh air, kronologi tradisi makna upacara adat, dan lain-lain.

Sementara Joko Saryono dari Universitas Negeri Malang yang juga editor buku ini mengatakan, buku tersebut berfungsi sebagai "mengekskavasi khazanah lokal, mengarusutamakan suara alam."

Ditambahkan Joko, buku tersebut mengungkapkan bagaimana suara alam dari komunitas merupakan khazanah lokal ekokultural yang diteliti oleh komunitas cendekia profesional, khususnya tentang suara orkestra ekologis-ekofonis.

"Secara dikotomis, keadaan tersebut menggambarkan hal-hal penting, yaitu terdapat kekenyalan dan kelenturan berbagai khazanah lokal ekokultural, pada saat berhadapan berbagai khazanah yang datang baik itu nasional ataupun global,” terangnya.

Dengan berbagai siasat dan cara apapun, entah adaptasi, indigenisasi, akulturasi, asimilasi atau responsi, berbagai khazanah lokal ekokultural ini mempertahankan bahkan menguatkan keberlangsungan dan keberlanjutan eksistensinya.