“Andai saja Daftar Merah IUCN diperbarui pada skala yang sama pada tahun 1970an seperti saat ini, (maka) kita dapat menelusuri pandemi penyakit amfibi yang melanda 20 tahun sebelum penyakit tersebut menghancurkan populasi mereka,” imbuh Amir.
Upaya Konservasi untuk Menyelamatkan Amfibi
Dalam artikel tersebut, Amir juga menginformasikan, saat ini konsentrasi terbesar spesies yang terancam berada di Kepulauan Karibia, Mesoamerika, Andes Tropis, pegunungan dan hutan di Kamerun Barat dan Nigeria Timur, Madagaskar, Ghats Barat dan Sri Lanka.
Tak hanya itu, spesies lainnya yang terdapat di Hutan Atlantik Brasil bagian selatan, Pegunungan Busur Timur Tanzania, Tiongkok tengah dan selatan, dan Pegunungan Annamite bagian selatan Vietnam juga mengalami hal serupa.
“Untuk mengatasi ancaman tersebut, diperlukan beberapa upaya konservasi tertentu untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap spesies tertentu, khususnya untuk spesies yang diidentifikasi mempunyai risiko serius mengalami penurunan populasi.
Studi ini juga menyarankan perlunya prioritas konservasi amfibi untuk perlindungan habitat yang efektif, karena akan berkontribusi terhadap jumlah perbaikan terbesar sejak tahun 1980. Upaya konservasi juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan tindakan ex situ terutama untuk 798 spesies terancam punah yang ada di lokasi risiko kepunahan tertinggi.
“Amfibi tidak seperti hewan lainnya, ia bernapas melalui sebagian kulitnya. Kondisi tersebut menjadikan mereka jauh lebih sensitif terhadap faktor lingkungan, seperti penyakit, polusi, bahan kimia beracun, radiasi ultraviolet, perubahan iklim dan perusakan habitat,” imbuh Amir.
Untuk menghadapi ancaman eksplotasi lahan dalam bentuk perluasan pertanian dan peternakan perlu dilakukan perlindungan situs penting secara global bagi amfibi, termasuk Situs Alliance for Zero Extinction dan Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama. Upaya ini dilakukan untuk menjaga habitat yang tersisa bagi spesies yang terancam atau terbatas secara geografis.
Sementara itu, untuk menghindari pandemi amfibi global gelombang kedua akibat jamur Batrachochytrium dendrobatidis dan B. salamandrivorans, perlu dikembangkan manajemen penyakit yang praktis.
“Kemauan politik (political will) dan komitmen dari pihak terkait serta peningkatan investasi juga sangat diperlukan untuk membalikkan tren populasi amfibi yang terus menurun,” tegas Amir.
Target konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka di masa depan. Defisiensi data (909 spesies) masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepunahan risiko dan kebutuhan konservasinya.
Secara umum, peningkatan pemantauan populasi di seluruh dunia juga sangat penting untuk tindakan konservasi dan penilaian ulang di masa depan untuk mengatasi krisis kepunahan amfibi yang sedang berlangsung dan implikasinya terhadap krisis keanekaragaman hayati.