Nationalgeographic.co.id—Amfibi merupakan kelompok vertebrata yang paling terancam secara global. Fakta menyedihkan itu tertuang dalam laporan Global Amphibian Assessment (GAA1) yang dirilis Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) terhadap 8.011 jenis amfibi di dunia.
Pembiaran terhadap penurunan populasi amfibi di dunia akan mengakibatkan kepunahan spesies amfibi tertentu yang berdampak bagi manusia. Hal tersebut diungkap oleh Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Amir Hamidy.
Peneliti bidang herpetologi tersebut menambahkan, amfibi dapat mengendalikan populasi serangga. Jadi, kepunahan amfibi akan berdampak pada naiknya populasi serangga yang berpengaruh pada kesehatan manusia dan kegagalan panen pertanian.
Tak hanya itu, menurut para ahli, perlindungan dan restorasi amfibi juga dapat menjadi solusi terhadap krisis iklim. Sebab, hewan berdarah dingin tersebut membantu menjaga keseimbangan ekosistem di lingkungan tetap sehat.
“Kondisi ini tentu perlu mendapat perhatian. Diperlukan mekanisme untuk penilaian sistematis terhadap risiko kepunahan spesies secara berkala untuk memberikan informasi terkini terkait penentuan prioritas, perencanaan, dan pemantauan tindakan konservasi,” ujar peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN itu.
Faktor Penyebab Penurunan Populasi Amfibi
Amir menjelaskan, dalam artikel yang ditulis bersama tim dan dirilis pada jurnal Nature 01 Desember 2023 lalu, ancaman yang terdokumentasi adalah hilangnya jenis dan degradasi habitat.
Ia menerangkan, penyebab terbesar penurunan populasi global amfibi diakibatkan kerusakan habitat akibat aktifitas pertanian (77% spesies terkena dampak), aktivitas pemanenan kayu dan tanaman (53%), dan pembangunan infrastruktur (40%). Sementara itu dampak perubahan iklim (29%) dan penyakit (29%) juga berkontribusi terhadap tren penurunan populasi amfibi secara global.
“Tercatat, sebelum tahun 2004 penurunan populasi amfibi sekitar 90% disebabkan oleh penyakit dan kehilangan habitat. Namun, saat ini perubahan iklim juga menyebabkan penurunan populasi amfibi,” ungkapnya.
Amir menambahkan, jumlah amfibi punah yang terdokumentasikan terus bertambah, yakni 23 jenis pada tahun 1980, 10 jenis pada tahun 2004, dan 4 jenis punah pada tahun 2022. Jadi jumlah jenis amfibi yang punah secara global dalam dua dekade terakhir tercatat sebanyak 37 jenis.
Contoh nyata kepunahan tersebut terjadi pada tahun 1990, yaitu terjadinya penurunan jumlah yang cepat untuk katak jenis Atelopus chiriquiensis dan Taudactylus acutirostris akibat penyakit. Sementara itu, jenis Craugastor myllomyllon dan Pseudoeurycea exspectata terakhir terlihat pada tahun 1970 dan dikabarkan punah akibat ekspansi pertanian.
Tak hanya itu, dalam publikasi ini juga menyebutkan terdapat 8.011 spesies amfibi telah memperbarui statusnya dalam Daftar Merah IUCN. Indeks Daftar Merah IUCN yang diperbarui melaporkan status amfibi memburuk secara global, khususnya salamander.
“Andai saja Daftar Merah IUCN diperbarui pada skala yang sama pada tahun 1970an seperti saat ini, (maka) kita dapat menelusuri pandemi penyakit amfibi yang melanda 20 tahun sebelum penyakit tersebut menghancurkan populasi mereka,” imbuh Amir.
Upaya Konservasi untuk Menyelamatkan Amfibi
Dalam artikel tersebut, Amir juga menginformasikan, saat ini konsentrasi terbesar spesies yang terancam berada di Kepulauan Karibia, Mesoamerika, Andes Tropis, pegunungan dan hutan di Kamerun Barat dan Nigeria Timur, Madagaskar, Ghats Barat dan Sri Lanka.
Tak hanya itu, spesies lainnya yang terdapat di Hutan Atlantik Brasil bagian selatan, Pegunungan Busur Timur Tanzania, Tiongkok tengah dan selatan, dan Pegunungan Annamite bagian selatan Vietnam juga mengalami hal serupa.
“Untuk mengatasi ancaman tersebut, diperlukan beberapa upaya konservasi tertentu untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap spesies tertentu, khususnya untuk spesies yang diidentifikasi mempunyai risiko serius mengalami penurunan populasi.
Studi ini juga menyarankan perlunya prioritas konservasi amfibi untuk perlindungan habitat yang efektif, karena akan berkontribusi terhadap jumlah perbaikan terbesar sejak tahun 1980. Upaya konservasi juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan tindakan ex situ terutama untuk 798 spesies terancam punah yang ada di lokasi risiko kepunahan tertinggi.
“Amfibi tidak seperti hewan lainnya, ia bernapas melalui sebagian kulitnya. Kondisi tersebut menjadikan mereka jauh lebih sensitif terhadap faktor lingkungan, seperti penyakit, polusi, bahan kimia beracun, radiasi ultraviolet, perubahan iklim dan perusakan habitat,” imbuh Amir.
Untuk menghadapi ancaman eksplotasi lahan dalam bentuk perluasan pertanian dan peternakan perlu dilakukan perlindungan situs penting secara global bagi amfibi, termasuk Situs Alliance for Zero Extinction dan Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama. Upaya ini dilakukan untuk menjaga habitat yang tersisa bagi spesies yang terancam atau terbatas secara geografis.
Sementara itu, untuk menghindari pandemi amfibi global gelombang kedua akibat jamur Batrachochytrium dendrobatidis dan B. salamandrivorans, perlu dikembangkan manajemen penyakit yang praktis.
“Kemauan politik (political will) dan komitmen dari pihak terkait serta peningkatan investasi juga sangat diperlukan untuk membalikkan tren populasi amfibi yang terus menurun,” tegas Amir.
Target konservasi keanekaragaman hayati diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka di masa depan. Defisiensi data (909 spesies) masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepunahan risiko dan kebutuhan konservasinya.
Secara umum, peningkatan pemantauan populasi di seluruh dunia juga sangat penting untuk tindakan konservasi dan penilaian ulang di masa depan untuk mengatasi krisis kepunahan amfibi yang sedang berlangsung dan implikasinya terhadap krisis keanekaragaman hayati.