Natioinalgeographic.co.id—Maluku, yang kini telah terbagi menjadi dua provinsi (Maluku Utara dan Maluku), terdiri dari ribuan pulau yang sebagian besar berukuran kecil dan berpenduduk sedikit yang tersebar di wilayah luas yang dihuni oleh beragam masyarakat. Kelompok Hak Minoritas memperkirakan bahwa Maluku adalah rumah bagi hingga 131 bahasa asli.
Meskipun terdapat keragaman etnis, pada tahun 2019 provinsi ini hanya berpenduduk 1,7 juta jiwa. Hal ini menjadikan provinsi-provinsi di Maluku ini sebagai provinsi yang paling sedikit penduduknya dan kurang berkembang di Indonesia.
Dahulu, Maluku adalah hadiah gadang yang diperebutkan oleh negara-negara besar Eropa dari abad ke-16 hingga ke-19, di era globalisasi yang jauh lebih awal. Sasaran perjuangan besar ini, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Belanda, adalah pala dan cengkih yang membuat Kepulauan Maluku diberi julukan Kepulauan Rempah.
Masyarakat Maluku, dan khususnya Pulau Ambon yang paling padat penduduknya, disukai oleh Belanda karena kehebatan bela diri mereka. Mereka kemudian membentuk Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang sebagian anggotanya para lelaki Maluku.
Dalam Perang Dunia II, sekutu juga menganggap Ambon sebagai lokasi strategis yang signifikan, dan pasukan Australia serta Persemakmuran lainnya bekerja sama dengan KNIL untuk mempertahankannya dari invasi Jepang. Setelah direbut oleh Jepang pada tahun 1942, tempat ini menjadi lokasi salah satu kamp tawanan perang Jepang yang paling brutal.
Ini adalah sebuah fakta yang diakui dalam persidangan Kejahatan Perang di Tokyo. Saat ini, hal ini diperingati dengan sebuah permakaman yang indah dan terawat baik, yang dikenal secara lokal sebagai Permakaman Australia.
Pada tahun 1950 sebagian masyarakat Maluku mendeklarasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) dari Indonesia. Pasukan Indonesia menggempur Maluku.
Perang saudara pun meletus. Lalu demi mencari keamanan, ribuan orang Maluku melakukan eksodus ke Belanda.
Konflik kembali terjadi di Maluku ketika ketegangan sektarian antara komunitas Muslim dan Kristen di Ambon meletus menjadi peperangan terbuka pada bulan Februari 1999.
Meminjam kata-kata dalam buku Christopher Koch tentang kekacauan tahun 1965, tahun 1999 adalah “tahun hidup berbahaya” yang kedua bagi Indonesia. Dia juga menyebut Ambon adalah salah satu yang paling brutal dari sekian banyak titik konflik yang berkobar di seluruh Nusantara setelah jatuhnya Suharto.
Perdamaian konflik Ambon akhirnya terwujud melalui Perjanjian Malino tahun 2002, setelah empat tahun konflik dan pengungsian sedikitnya 700.000 orang dan lebih dari 5.000 kematian.
Ambon telah dibangun kembali dan bangkit dari abu, meski masih terlihat sisa-sisa kerusakan, belum lagi bekas luka yang kurang terlihat dari mereka yang menjadi saksi pembantaian tersebut. Namun perdamaian tetap terjaga, dan Maluku sekali lagi menghilang dari sorotan internasional.