Sikap Kelam Kaisar Tiongkok hingga Shakespeare atas Gerhana Matahari

By Utomo Priyambodo, Senin, 8 April 2024 | 12:00 WIB
Ada sikap dan pemikiran kelam orang-orang zaman dulu terhadap fenomena gerhana matahari total. Mulai dari kaisar Tiongkok kuno, Yunani kuno, Aztec kuno, Maya kuno, hingga penyair William Shakespeare. (Phil Hart/NASA)

Nationalgeographic.co.id—Hari ini gerhana matahari total akan menyelimuti wilayah Amerika Utara. Satu-satunya hal yang perlu dikhawatirkan oleh para penonton langsung gerhana matahari total adalah bagaimana melindungi mata mereka saat mengamati peristiwa tersebut.

Namun keadaan saat fenomena gerhana matahari berlangsung tidaklah sedingin ini pada zaman dahulu. Dahulu gerhana matahari sering kali memicu kepanikan dan pertumpahan darah di antara mereka yang menyaksikannya dari bawah.

Beberapa catatan paling awal tentang tontonan surgawi ini berasal dari Tiongkok dan berumur lebih dari 4.000 tahun. Dianggap sebagai pertanda nasib para kaisar, gerhana matahari adalah urusan serius di kalangan kekaisaran dan sering kali memicu keputusan eksekutif yang kejam.

Misalnya, dua astronom istana yang bertugas di bawah Kaisar Chung K’ang dilaporkan dipenggal karena gagal memprediksi gerhana matahari pada abad ke-22 SM.

Di kalangan masyarakat Tiongkok kuno, gerhana dianggap disebabkan oleh seekor naga yang memakan matahari. Oleh karena itu digunakanlah kata “shi”, yang juga berarti “makan”, untuk merujuk pada gerhana matahri.

Oleh karena itu, orang-orang menanggapi peristiwa ini dengan menggedor-gedor genderang dan membuat suara keras dengan harapan dapat menakuti naga dan menyelamatkan cahaya siang hari.

Seperti halnya orang Tiongkok, orang Yunani kuno juga sangat mahir dalam memprediksi gerhana matahari. Namun lucunya mereka masih kehilangan akal setiap kali gernaha matahari terjadi.

Menurut beberapa sumber, para penguasa dan raja di Yunani kuno akan bersembunyi selama gerhana, karena takut akan murka para dewa. Beberapa penguasa bahkan menempatkan rakyat jelata di atas takhta dalam upaya untuk membodohi surga agar memukul orang yang salah.

Dikatakan bahwa Alexander Agung menggunakan strategi ini ketika serangkaian gerhana matahari parsial diperkirakan terjadi pada tahun 323 SM. Meski demikian, para dewa jelas tidak tertipu dan Alexander akhirnya meninggal pada tahun itu juga.

Di Amerika, suku Maya kuno memiliki pemahaman yang sangat maju tentang siklus langit dan mampu memprediksi gerhana matahari menggunakan serangkaian almanak dan grafik yang dicatat dalam Kodeks Dresden yang terkenal. Terlepas dari kemampuan astronominya, suku Maya masih menafsirkan gerhana matahari sebagai matahari yang “hancur”.

Pemikiran ini mendorong para penguasa suku Maya kuno untuk melakukan ritual pertumpahan darah. Ritual dilakukan dalam upaya memulihkan kesehatan matahari sepenuhnya dan memperbaiki situasi.

Sementara itu, suku Aztec mengira matahari sedang dimakan dan mengalami kekacauan saat gerhana matahari terjadi. Menggambarkan reaksi umum terhadap gerhana total pada tahun 1596 M, misionaris Spanyol Fray Bernardino de Sahagún menulis bahwa orang-orang Aztec menjadi histeris.