Refleksi Lebaran Idulfitri: Ketidakseimbangan Kota dan Desa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 10 April 2024 | 10:00 WIB
Setiap tahunnya, banyak dari masyarakat Indonesia mudik menjelang hari raya Idulfitri. Ajang tahunan ini semestinya menjadi refleksi akan keadilan kehidupan pedesaan dan perkotaan. (Alex Pangestu)

Nationalgeographic.co.id—Jakarta selalu sumpek penduduk diisi oleh masyarakat urban. Setiap tahunnya, selalu ada perantau yang datang. Dalam sebuah pernyataan pada Februari 2023, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta diserbu 151 ribu perantau sejak 2022.

Di sisi lain, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah provinsi dengan migrasi keluar seumur hidup terbanyak (merantau) sepanjang 2020-2022, melansir data Badan Pusat Statistik (BPS). Selama dua tahun, enam juta penduduk Jawa Tengah dan 3,47 juta penduduk Jawa Timur meninggalkan provinsinya.

Jakarta, sebagai kota yang dipenuhi masyarakat urban, ternyata masyarakatnya banyak yang merantau keluar. Sementara Jakarta menjadi terbesar ketiga di bawah Jawa Timur dengan jumlah 3,06 juta jiwa untuk migrasi keluar seumur hidup.

Berbagai pakar sosiologi menyebutkan, kalangan perantau akan memilih kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar sebagai tujuan. Tren ini sudah ada sejak lama, sehingga menghadirkan masyarakat yang akan pergi mudik kala hari raya Idulfitri.

Pasalnya, daya tarik kota memang sudah ada sejak lama. Semasa Hindia Belanda membangun berbagai kota dengan infrastruktur yang memadai pemerintahan dan bisnis, sebagaimana yang dijelaskan Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota.

Purnawan menulis, kota melahirkan kesempatan kerja yang luas, sehingga mendorong urbanisasi masyarakat dari pedesaan.

"Orang-orang dari desa berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih menjanjikan akibat kemiskinan di pedesaan, sekaligus menikmati kota yang telah melahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaum pendatang," tulis Purnawan.

Keadilan Kota dan Desa

Tradisi mudik di Indonesia menjadi cerminan betapa besar masyarakat yang melakukan urbanisme. Para pakar ekonomi menyebutkan bahwa urbanisme disebabkan kemiskinan di pedesaan dan sedikitnya peluang lapangan kerja.

Akan tetapi, urbanisme bukan selalu tentang masalah harapan ekonomi, melainkan juga faktor gaya kehidupan industri yang berkembang di kota. Agus Maladi Irianto, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro menjelaskan bahwa selain ekonomi, faktor gaya kehidupan industri juga memicu urbanisme.

Buktinya, masyarakat di perkotaan tidak selalu mengisi sektor formal seperti pekerja pabrik atau perusahaan atau kantor pemerintah. 

Kehidupan industri perkotaan menawarkan peluang tinggal di kota dengan mata pencaharian informal, misalnya pedagang kaki lima, penjual koran, penyemir sepatu, pengemis atau pelacur. Lagi pula, pekerjaan informal juga menghasilkan pendapatan yang bervariasi, bahkan lebih besar dari karyawan formal.