Refleksi Lebaran Idulfitri: Ketidakseimbangan Kota dan Desa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 10 April 2024 | 10:00 WIB
Setiap tahunnya, banyak dari masyarakat Indonesia mudik menjelang hari raya Idulfitri. Ajang tahunan ini semestinya menjadi refleksi akan keadilan kehidupan pedesaan dan perkotaan. (Alex Pangestu)

"Kota, bagi para pemudik, tak lebih dari rumah tempat berteduh, mereka merasa tempat tinggalnya masih di desa asalnya," tulis Agus dalam makalah Mudik dan Keretakan Budaya. "Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya) cenderung lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal (dalem)," lanjutnya.

Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Kebanyakan kaum perempuan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke berbagai daerah untuk berdagang, mencari peluang pekerjaan yang lebih baik atau mengikuti suaminya bekerja. Rumah gadang yang ditinggalkan perlahan terbengka (Muhammad Alzaki Tristi)

"Jika sikap primordial ini lebih mengemuka, maka kota selama ini lebih disikapi sebagai 'tempat berteduh' itu, hanya menyisakan kemacetan jalan raya, kekumuhan perumahan, bahkan kriminalitas semata yang justru menciptakan keretakan budaya," pungkasnya.

Tiada salahnya untuk merantau ke kota. Akan tetapi, kondisi desa yang memang kurang secara infrastruktur semakin ketertinggalan dalam aspek sosialnya. Kehidupan industri perkotaan membawa petaka keberlanjutan sektor pertanian di pedesaan.

Lukas Bonar Nainggolan dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyingkap hanya ada sedikit anak muda yang ingin menjadi petani di pedesaan.

Temuan itu diungkap Lukas dalam makalah "An experiment on the link between risk preferences and the willingness to become a farmer" di Journal of the Agricultural and Applied Economics Association. Petani di di Indonesia mengalami peningkatan, namun hanya sedikit usia muda yang ingin berpindah ke desa untuk melakukan pekerjaan seperti itu.

"Berarti enggak ada regenerasinya. Jadi, yang tua masih jadi petani enggak ada menggantikan juga [dari] anak mudanya," kata Lukas saat diwawancarai.

Penyebab kurangnya minat bekerja di bidang pertanian antara lain, dipandang sebagai pekerjaan rendahan, dan tidak menjamin kehidupan yang layak. Di tambah lagi, petani punya risiko kerugian keuangan akibat gagal panen yang berhubungan dengan perubahan iklim, jelas Lukas.

Oleh karena itu, penting untuk membangun desa sebagai tempat tinggal sekaligus mencari sumber pendapatan. Akan tetapi, pembangunan desa harus memperhatikan keadilan spasial.

"Pembangunan perdesaan harus mengatasi bias lokasional yang merugikan kelompok tertentu dengan mempertimbangkan dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan," terang Sampean, dari Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor dalam kolom Kompas.id.

Sampean mencatat, langkah untuk mewujudkan keadilan spasial harus berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Penegakkan keadilan tidak hanya berdampak pada pendapatan fisik seperti ekonomi, melainkan juga kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat.

"Keadilan spasial di perdesaan mencakup distribusi sumber daya, peluang, dan layanan yang merata di seluruh wilayah fisik," terang Sampean.

Langkah strategi yang bisa dilakukan untuk keadilan spasial di desa adalah dengan membangun berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemetaan potensi, dan peluang ekonomi masyarakat pedesaan.

"Ini berarti memastikan bahwa akses terhadap perumahan, perawatan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan ruang publik tidak hanya terbatas pada pusat perkotaan," lanjutnya.

Jika keadilan antara desa dan perkotaan terwujud, kelak mudik bukan lagi tentang penduduk kota yang berpulang ke desa. Desa yang maju--tanpa merombak menjadi kota yang baru--membuat masalah kependudukan di kota pun lebih tuntas.

Bahkan, kelak bisa saja mudik justru dilakukan oleh banyak warga kota yang merantau dari desa.