Pertandingan Berdarah Serdadu Kekaisaran Jepang Demi Satu Wanita

By Tri Wahyu Prasetyo, Sabtu, 4 Mei 2024 | 16:34 WIB
Potret Kazuko Higa ketika diselamatkan pada tahun 1950. (Via Tanken)

Nationalgeographic.co.id—Apa yang sejarah katakan beberapa tampak seperti khayalan. Mereka begitu terlampau keterlaluan, bahkan mengalahkan film-film aneh yang ada. Sebuah peristiwa di akhir Perang Dunia II adalah contoh yang sempurna.

Pasukan dari Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia II mengadopsi tradisi kuno yang telah mendarah daging . Kode Bushido dibajak dari budaya samurai dan diterapkan ke dalam angkatan bersenjata modern pada zamannya. 

Tradisi dari para prajurit yang dibanggakan ini melahirkan para ksatria pemberani nan setia. Namun di sisi lain, juga fanatisme dan kebrutalan. 

Kebengisan mereka selama Perang Dunia II bukanlah hal yang mengejutkan lagi. Bahkan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan Kekaisaran Jepang masih membekas di benak para korban yang masih hidup.

Namun, ada satu kasus yang akan dianggap sebagai ‘kegilaan’ bahkan bagi kedua belah pihak. Di sebuah pulau, ada seorang wanita yang diperebutkan oleh 31 pria.

Pulau Anatahan

Pulau Anatahan. (Via Tanken)

Kisah ini bermula di Pulau Anatahan yang terletak di Kepulauan Marianas Utara. Saat ini pulau ini tak berpenghuni karena serangkaian letusan gunung berapi. Yang terakhir terjadi pada tahun 2008.

Namun, sebelum itu, menurut penulis Mamerto Adan, dilansir dari laman Hubpages tempat ini telah menjadi saksi atas kisah kelam yang melibatkan perkelahian para pria demi merebutkan wanita. Bahkan, mereka rela saling membunuh.

Pada tahun 1668, Spanyol merupakan negara yang pertama kali menemukan pulau ini. Mereka mendirikan sebuah perkebunan kelapa raksasa.

Perkebunan tersebut dijual kepada Jerman pada tahun 1899, yang kemudian menjualnya kepada Jepang setelah Perang Dunia Pertama. Kikuichiro Higa kemudian dikirim bersama asistennya, Shoichi Higa, untuk mengelola 45 pekerja yang berasal dari penduduk lokal.

Baca Juga: 700 Tahun Berkuasa, Singkap Sejarah Shogun di Kekaisaran Jepang

“Dia datang ke pulau itu tepat sebelum Perang Dunia II dimulai, tetapi dia tidak sendirian. Dia membawa serta istrinya yang berusia 28 tahun, bernama Kazuko,” kata Adan.

Meskipun perang berkecamuk, semuanya relatif normal di pulau itu, sampai suatu hari ketika Shoichi Higa pergi. Dia mengkhawatirkan saudara perempuannya, yang tinggal di pulau seberangnya, Pulau Saipan. Oleh karena itu, dia pergi, berjanji untuk kembali ke istrinya dalam waktu satu bulan. Namun, semua tidak berjalan sesuai rencana.

Kedatangan Tentara Laut Jepang

Sayangnya, Shoichi Higa tidak pernah kembali, dan istrinya menjadi kesepian. Tapi masih ada bosnya, dan Kazuko akhirnya tinggal bersama Kikuichiro Higa.

Kehidupan mereka berdua berjalan lancar, sampai menjelang akhir Perang. Pada tahun 1944, kapal-kapal Jepang dibom oleh pesawat-pesawat Amerika Serikat dan menenggelamkannya.

Sebanyak 31 pelaut Jepang yang selamat berenang dan mencapai Anatahan, di mana mereka disambut oleh Kikuichiro dan Kazuko. Dan selama berada di sana, Kazuko adalah satu-satunya wanita di seluruh pulau.

Serdadu Jepang yang terdampar hidup dengan relatif nyaman tanpa khawatir tentang makanan atau minuman. Pulau ini kaya akan buah-buahan dan sayuran lokal dan memiliki hewan-hewan lokal untuk disantap.

Anatahan sendiri juga tidak terganggu oleh perang, dengan hanya beberapa insiden yang terjadi. Dan salah satunya adalah jatuhnya pesawat pengebom Amerika.

“Dan ketika itu terjadi, orang-orang Jepang yang terdampar mengambil keuntungan dari pesawat B-17 yang jatuh dan menyelamatkan bangkai pesawat tersebut,” kata Adan.

Puing-puing dari bangkai pesawat tersebut dimanfaatkan untuk bertahan hidup, diantaranya adalah peralatan memasak. Selain itu, pesawat tersebut juga mengangkut senjata api.

Tiba-tiba, para pemukim dipersenjatai dengan pistol Amerika selain senjata tajam yang mereka buat sendiri.

Permulaan Masalah

Kazuko dikatakan memiliki rupa yang tak terlalu cantik. Namun, di pulau itu, Kazuko adalah satu-satunya wanita yang ada. Kondisi ini akan segera memantik perselisihan di antara puluhan pria bersenjata.

Pada tahun 1946, Kikuichiro meninggal. Diduga ia telah dibunuh oleh Gensaburo Yoshino dengan motif tak jelas. Dus, Kazuko sekarang menggantikan posisinya sebagai pemimpin pulau.

Kini di antara puluhan pria, janda baru itu bagaikan piala. Persaingan pun segera terjadi. Namun, untuk meredam konflik, Kapten Ishida berusaha untuk mencari jalan keluar dengan menikahkan salah satu dari mereka dengan Kazuko.

Riichiro Yanagibashi adalah pasangan barunya, tetapi tidak lama kemudian dia tenggelam. Kazuko menikah lagi, tetapi setiap kali dia menikah, selalu berakhir dengan kematian.

Sebuah contoh yang baik adalah Gensaburo Yoshino, tersangka pembunuh Kikuichiro yang ditikam hingga tewas. Secara keseluruhan, 11 orang tewas, dan menjadi jelas bahwa mereka saling membunuh satu sama lain karena memperebutkan dirinya.

Sementara para pria bertempur merebutkan Kazuko, Perang Dunia II telah berakhir. Pamflet-pamflet dijatuhkan di Anatahan untuk mengumumkan berakhirnya perang.

Namun, pasukan Kekaisaran Jepang percaya bahwa itu adalah sebuah kebohongan, dan mereka terus bertahan. Ditambah lagi, mereka memiliki pertempuran sendiri untuk diselesaikan.

Namun, setelah lima tahun menyerahnya Kekaisaran Jepang, orang-orang mulai menyadari bahwa Kazuko tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan. Demi menjaga keutuhan, para pria itu kini justru ingin menghilangkan sumber masalah.

“Nyawa Kazuko terancam, dan dia bersembunyi setelah mengetahui hal itu dari salah satu pria. Kazuko akhirnya melarikan diri dengan nyawanya, ketika dia menyerah kepada kapal Amerika yang lewat,” jelas Adan.