Demam Tulip Sebabkan Gelembung Ekonomi Pertama dalam Sejarah Dunia

By Sysilia Tanhati, Jumat, 12 April 2024 | 10:00 WIB
Dalam sejarah dunia, gelembung ekonomi pertama disebabkan oleh demam tulip di Republik Belanda pada tahun 1630-an. (Pixabay/Pexels)

Clusius pertama kali menetapkan bahwa tulip dari Asia Tengah dapat tumbuh cukup baik di iklim yang relatif sedang di Eropa Utara. Dan segera, bunga ini menjadi populer di kalangan kelas atas dan menengah. Mereka mengembangkan ketertarikan untuk mendekorasi rumah dengan tulip. Saat itu, masyarakat Belanda memasuki periode peningkatan kemakmuran di awal abad ketujuh belas.

Tulip tersedia dalam beraneka warna. Selain itu, tanaman ini sangat mudah dibudidayakan. Warna serta corak yang berbeda dapat dihasilkan oleh mereka yang mengetahui cara melakukannya. Tentu saja, proses ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan warna yang disukai.

Bunga tulip semakin populer. Oleh karena itu, persaingan di kalangan kelas atas semakin meningkat untuk mendapatkan bunga tulip yang paling unik dan tidak biasa.

Ketika hal ini terjadi, harga umbi tulip mulai meningkat. Hal ini semakin bertambah ketika para pedagang dan petani mulai mengeluarkan sejumlah besar uang untuk membeli umbi dengan kualitas tertentu.

Gelembung ekonomi dalam sejarah dunia disebabkan oleh bunga tulip

Pada pertengahan tahun 1630-an, pasar tulip menyebabkan gelembung ekonomi besar-besaran pertama di dunia. Pasalnya, muncul spekulasi mengenai harga tulip.

Hal ini tidak hanya didorong oleh Belanda, tetapi juga oleh para pedagang dan pemodal di Prancis dan daerah sekitarnya. Semua berspekulasi mengenai pasar tulip di Belanda dan provinsi-provinsi Belanda lainnya.

Ketika mereka melakukannya, harga umbi-umbian yang lebih eksotis mulai meningkat tajam pada tahun 1634. Sudah ada gelembung pada tahap ini. Namun gelembung tersebut membengkak pada tahun 1636 karena umbi-umbi yang lebih diidam-idamkan, seperti Switzer, harganya naik lebih dari 1.000%. Kenaikan ini terjadi dalam jangka waktu dua bulan antara Desember 1636 dan Februari 1637.

Pada saat itu, kontrak untuk umbi tulip kadang-kadang dijual berkali-kali dalam sehari. Para pedagang menghasilkan keuntungan yang besar hanya dalam waktu beberapa jam. Kegilaan ini mencapai puncaknya di Belanda pada tahun 1633–1637.

"Sebelum tahun 1633, perdagangan tulip di Belanda hanya terbatas pada petani dan ahli profesional," tambah Seaver. Namun harga tulip yang terus meningkat menggoda banyak keluarga kelas menengah dan miskin untuk berspekulasi di pasar tulip.

Rumah, perkebunan, dan industri digadaikan agar umbinya dapat dibeli untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Penjualan dan penjualan kembali dilakukan berkali-kali tanpa pernah memindahkan umbi dari tanah. Dan jenis umbi langka dijual dengan harga setara dengan ratusan dolar.

Pada musim semi tahun 1637, beberapa umbi tulip harganya setara dengan rumah berukuran besar di Amsterdam.

Tentu saja, itu tidak akan bertahan lama. Pada pertengahan musim semi tahun itu, harga umbi tulip mulai anjlok karena wabah penyakit pes di Haarlem. Wabah ini membuat para pedagang menghindari lelang. Gelembung spekulatif mulai mengempis dengan cepat di seluruh Republik.

Pada musim panas tahun 1637, banyak orang yang mempunyai saham besar di pasar mulai kehilangan kekayaannya. Saat itu muncul keraguan apakah harga akan terus meningkat. Hampir dalam semalam struktur harga bunga tulip runtuh. Hal ini menyapu bersih kekayaan dan meninggalkan kehancuran finansial bagi banyak keluarga biasa di Belanda.

Ada banyak alasan mengapa tulip mania atau demam berkembang. Yang pasti, semuanya terkait erat dengan perkembangan perekonomian Republik Belanda pada saat itu.