Upaya Peneliti Mengurai Genetika Suci Rusa Sika di Taman Nara Jepang

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 13 April 2024 | 16:00 WIB
Rusa sika, Cervus nippon, dianggap suci dalam agama Shinto. Menurut cerita rakyat setempat, Takemikazuchi, salah satu dari empat dewa Kuil Agung Kasuga, tiba pada tahun 768. Ia menunggangi seekor rusa putih. Sejak itu, masyarakat Nara menganggap rusa sika sebagai utusan suci yang mengawasi kota. (Dariusz Jemielniak/CC BY-SA 4.0)

Hal ini bukan satu-satunya kasus tabu tradisional yang melindungi spesies. Kelelawar berwajah monyet Bougainville dilindungi karena signifikansi budaya dan spiritualnya di Papua Nugini. Namun terjadi perubahan nilai-nilai kemanusiaan, ekonomi, dan penggunaan lahan di seluruh dunia, begitu pula konservasi. Hal ini turut berpengaruh pada keberadaan rusa keramat Nara.

Di banyak wilayah dunia—termasuk wilayah lain di Kekaisaran Jepang—pemusnahan rusa adalah solusi untuk mengatasi kelebihan populasi. Tradisi dan pariwisata memperumit situasi di Nara.

“Ini adalah hewan yang dicintai meski menimbulkan masalah,” kata Kaneko.

Rusa sika di Nara dicintai masyarakat namun mereka kerap menimbulkan masalah. Jumlahnya pun terus bertambah. (Lawsonstu/ CC0 1.0)

Pada tahun 2023, Kaneko dan rekan-rekannya mendefinisikan ulang sejarah rusa di Taman Nara. Mereka menunjukkan bahwa garis keturunan genetik rusa di cagar alam di Kuil Kasuga Taisha sudah ada sejak seribu tahun lalu.

“Ini adalah penemuan besar dan menjadi perbincangan di Jepang,” kata ahli genetika populasi hewan Naoki Ohnishi di Pusat Penelitian Tohoku di Jepang.

Penelitian ini menegaskan kembali status rusa suci Taman Nara. Namun masyarakat tidak yakin bagaimana perasaan mereka terhadap hewan yang menyebabkan kerusakan pada tanaman di luar cagar alam. Terutama masyarakat yang terkena dampaknya secara langsung, kata Kaneko.

“Rusa yang muncul di dekat penduduk diyakini berasal dari Taman Nara,” katanya. “Penetapan sebagai monumen alam, serta anggapan bahwa mereka adalah rusa suci, kemungkinan besar berfungsi sebagai pencegah keputusan untuk memusnahkannya.”

Penelitian baru Kaneko dan rekan-rekannya berupaya menyelesaikan ketidakpastian. Mereka membandingkan sampel genetik dari rusa yang dilindungi dengan populasi dari 30 lokasi berbeda. Para peneliti menentukan bahwa rusa yang berada di kawasan yang dikelola dan di luarnya memiliki warisan genetik campuran. Sedangkan rusa yang berada di dalam cagar Kuil Kasuga Taisha lebih homogen.

“Rusa di cagar alam Kuil Taisha mewakili garis keturunan murni yang mencakup lebih dari seribu tahun,” ungkap Ohnishi.

Rusa keturunan campuran terus menghuni kawasan di sekitar Taman Nara. Mereka dapat mengancam ciri genetik unik dari populasi di dalam cagar alam.

“Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita melanjutkan kebijakan pengelolaan yang telah ada selama lebih dari seribu tahun? Atau mengubah kebijakan ini untuk mengakhiri isolasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu milenium,” kata Kaneko.

Penelitian genetika seperti ini dapat mempengaruhi keyakinan dan emosi masyarakat. Juga mempunyai implikasi praktis terhadap cara kita mengelola satwa liar.

“Informasi genetik ini kemungkinan besar akan memengaruhi opini masyarakat,” kata Kaneko. Ohnishi setuju bahwa pekerjaan ini dapat mempunyai dampak nyata. Makalah ini akan memberikan kesempatan bagi warga Nara untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pengelolaan rusa di wilayah tersebut.

Penelitian ini menimbulkan pertanyaan, bisakah genetika menentukan nilai spiritual seekor hewan, atau haknya atas perlindungan? “Sulit menjawab pertanyaan apakah ini lebih sakral. Namun, ada perbedaan besar dalam jangka waktu mereka tinggal di kawasan Taman Nara,” kata Kaneko.  Alih-alih dianggap suci, rusa mungkin lebih tepat dianggap sebagai “aset budaya hidup”.

Saat terompet dibunyikan dan rusa berkumpul untuk mencari makanan. Masyarakat Nara tidak hanya mempertimbangkan garis keturunan panjang hewan tersebut, namun juga upaya untuk melestarikannya.