Nationalgeographic.co.id—Seekor rusa tutul merumput dengan tenang di antara pilar batu kuno Kuil Kasuga Taisha di Taman Nara. Saat matahari terbenam, suara terompet menarik ratusan rusa lain untuk diberi makan oleh wisatawan. 1.200 rusa yang hidup di taman ini secara teknis merupakan rusa liar. Namun rusa-rusa itu memiliki hubungan khusus dengan manusia sudah ada sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Rusa-rusa ini juga dilindungi oleh pemerintah Kekaisaran Jepang. Bagaimana kisahnya?
“Rusa sika, Cervus nippon, dianggap suci dalam agama Shinto,” tulis Roxanne Hoorn di laman Atlas Obscuta. Status spiritual mereka sudah ada sejak hampir 1.400 tahun yang lalu. Saat itu, Kuil Kasuga Taisha dibangun di tempat yang kemudian menjadi Taman Nara.
Kawasan ini adalah kawasan alami yang sebagian besar belum berkembang. Juga merupakan rumah bagi berbagai monumen keagamaan, terletak di kota Nara, ibu kota kuno Kekaisaran Jepang. Sejak itu, tempat suci keagamaan di sekitar kuil melindungi rusa sika suci dari perburuan di dalam wilayahnya.
Namun rusa tidak selalu berada di dalam batas cagar alam. Selama 50 tahun terakhir, jumlah rusa baik di dalam maupun di luar kawasan lindung telah meroket. Semakin banyak rusa yang tinggal di seluruh Kota Nara dan lahan pertanian di sekitarnya.
Di luar cagar alam, para petani menganggap rusa sebagai pengganggu sejak lama. Namun hewan-hewan tersebut tetap penting secara spiritual dan budaya dan menjadi daya tarik utama bagi wisatawan.
Pada tahun 1985, pemerintah pusat mendengarkan permohonan para petani. Pemerintah pun membagi Kota Nara menjadi kawasan yang dilindungi dan dikelola untuk rusa. Di kawasan yang dikelola, pemusnahan—atau pembunuhan—hewan diperbolehkan. Sejauh ini hal tersebut belum terjadi. Penduduk setempat khawatir pemusnahan ini akan membuat wisatawan menjauh dari sana.
Apakah rusa di Taman Nara benar-benar keramat? Sebuah penelitian dilakukan untuk menentukan kesakralan seekor hewan berdasarkan genetikanya.
Sebuah studi tentang rusa sika baru-baru ini yang diterbitkan dalam Journal of Conservation Science and Practice. Menurut studi itu, rusa di cagar alam Taman Nara saat ini memiliki keunikan genetik bila dibandingkan dengan rusa lain di wilayah sekitarnya. Rusa di cagar alam itu melestarikan DNA nenek moyang suci mereka.
Temuan ini mungkin memengaruhi cara masyarakat Nara menghargai populasi rusa yang berbeda, baik secara spiritual maupun budaya, berdasarkan genetikanya. Hal ini diungkap oleh rekan penulis Shingo Kaneko di Universitas Fukushima.
Nilai-nilai dan emosi yang menyertainya dapat berperan dalam bagaimana pertumbuhan populasi rusa dikelola di dalam dan di luar cagar alam. Tujuannya adalah untuk melindungi warisan genetik unik hewan tersebut.
“Rusa di dalam Taman Nara telah lama menikmati perlakuan istimewa,” tambah Hoorn. Menurut cerita rakyat setempat, Takemikazuchi, salah satu dari empat dewa Kuil Agung Kasuga, tiba pada tahun 768. Ia menunggangi seekor rusa putih. Sejak itu, masyarakat Nara menganggap rusa sika sebagai utusan suci yang mengawasi kota.
Hingga tahun 1637, membunuh rusa suci dapat dihukum mati. Dan bahkan setelah itu, hanya sedikit yang berani mencobanya. Setelah Perang Dunia II, rusa di dalam cagar alam ditetapkan sebagai monumen alam. Penetapan tersebut semakin menjaga perlindungan dan signifikansi budaya rusa sika di Taman Nara. Di luar tempat suci keagamaan, rusa diburu.
Hal ini bukan satu-satunya kasus tabu tradisional yang melindungi spesies. Kelelawar berwajah monyet Bougainville dilindungi karena signifikansi budaya dan spiritualnya di Papua Nugini. Namun terjadi perubahan nilai-nilai kemanusiaan, ekonomi, dan penggunaan lahan di seluruh dunia, begitu pula konservasi. Hal ini turut berpengaruh pada keberadaan rusa keramat Nara.
Di banyak wilayah dunia—termasuk wilayah lain di Kekaisaran Jepang—pemusnahan rusa adalah solusi untuk mengatasi kelebihan populasi. Tradisi dan pariwisata memperumit situasi di Nara.
“Ini adalah hewan yang dicintai meski menimbulkan masalah,” kata Kaneko.
Pada tahun 2023, Kaneko dan rekan-rekannya mendefinisikan ulang sejarah rusa di Taman Nara. Mereka menunjukkan bahwa garis keturunan genetik rusa di cagar alam di Kuil Kasuga Taisha sudah ada sejak seribu tahun lalu.
“Ini adalah penemuan besar dan menjadi perbincangan di Jepang,” kata ahli genetika populasi hewan Naoki Ohnishi di Pusat Penelitian Tohoku di Jepang.
Penelitian ini menegaskan kembali status rusa suci Taman Nara. Namun masyarakat tidak yakin bagaimana perasaan mereka terhadap hewan yang menyebabkan kerusakan pada tanaman di luar cagar alam. Terutama masyarakat yang terkena dampaknya secara langsung, kata Kaneko.
“Rusa yang muncul di dekat penduduk diyakini berasal dari Taman Nara,” katanya. “Penetapan sebagai monumen alam, serta anggapan bahwa mereka adalah rusa suci, kemungkinan besar berfungsi sebagai pencegah keputusan untuk memusnahkannya.”
Penelitian baru Kaneko dan rekan-rekannya berupaya menyelesaikan ketidakpastian. Mereka membandingkan sampel genetik dari rusa yang dilindungi dengan populasi dari 30 lokasi berbeda. Para peneliti menentukan bahwa rusa yang berada di kawasan yang dikelola dan di luarnya memiliki warisan genetik campuran. Sedangkan rusa yang berada di dalam cagar Kuil Kasuga Taisha lebih homogen.
“Rusa di cagar alam Kuil Taisha mewakili garis keturunan murni yang mencakup lebih dari seribu tahun,” ungkap Ohnishi.
Rusa keturunan campuran terus menghuni kawasan di sekitar Taman Nara. Mereka dapat mengancam ciri genetik unik dari populasi di dalam cagar alam.
“Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita melanjutkan kebijakan pengelolaan yang telah ada selama lebih dari seribu tahun? Atau mengubah kebijakan ini untuk mengakhiri isolasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu milenium,” kata Kaneko.
Penelitian genetika seperti ini dapat mempengaruhi keyakinan dan emosi masyarakat. Juga mempunyai implikasi praktis terhadap cara kita mengelola satwa liar.
“Informasi genetik ini kemungkinan besar akan memengaruhi opini masyarakat,” kata Kaneko. Ohnishi setuju bahwa pekerjaan ini dapat mempunyai dampak nyata. Makalah ini akan memberikan kesempatan bagi warga Nara untuk mempertimbangkan kembali kebijakan pengelolaan rusa di wilayah tersebut.
Penelitian ini menimbulkan pertanyaan, bisakah genetika menentukan nilai spiritual seekor hewan, atau haknya atas perlindungan? “Sulit menjawab pertanyaan apakah ini lebih sakral. Namun, ada perbedaan besar dalam jangka waktu mereka tinggal di kawasan Taman Nara,” kata Kaneko. Alih-alih dianggap suci, rusa mungkin lebih tepat dianggap sebagai “aset budaya hidup”.
Saat terompet dibunyikan dan rusa berkumpul untuk mencari makanan. Masyarakat Nara tidak hanya mempertimbangkan garis keturunan panjang hewan tersebut, namun juga upaya untuk melestarikannya.