Nationalgeographic.co.id—Belakangan ini ramai perbincangan mengenai tingginya angka perokok di kalangan Gen Z di Indonesia. Tanpa mengategorikan masing-masing generasi, data World Bank atau Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia memang merupakan negara dengan persentase perokok terbanyak.
Sebanyak 71,4 persen dari total populasi laki-laki di atas 15 tahun di Indonesia adalah perokok aktif. Itu artinya dari 10 laki-laki di Indonesia, hanya tiga orang yang tidak merokok.
Tingginya angka tersebut menjadi sinyal bahaya, mengingat dampak negatif produk tembakau terutama rokok yang tidak aman bagi kesehatan. Berbahaya tidak hanya bagi perokok aktif, tetapi juga bagi perokok pasif yang kebagian sial menghirup asap rokok dari para perokok aktif.
Menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, Maxi Rein Rondonuwu, lebih dari 27 juta perokok tembakau dewasa di Indonesia berisiko terkena penyakit menular dan tidak menular.
“Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar merupakan pasar potensial bagi industri rokok,” kata Maxi beberapa waktu lalu.
Meskipun ada larangan pembelian tembakau bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, banyak remaja Indonesia yang mulai mengonsumsi produk tembakau karena didorong oleh rasa ingin tahu dan faktor pergaulan.
Pada tahun 2022, prevalensi merokok di Indonesia berada pada kisaran 38 persen untuk gabungan pria dan wanita. Diperkirakan prevalensinya akan terus meningkat dan mencapai sekitar 38,6 persen pada tahun 2028.
Pada tahun 2022, sekitar 226 ribu metrik ton tembakau diproduksi di Indonesia. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor tembakau dari produsen besar lainnya untuk memenuhi kebutuhan industri tembakau.
Berbeda dibandingkan negara lain, perokok Indonesia cenderung lebih menyukai rokok kretek lokal. Kretek adalah rokok kretek yang terbuat dari tembakau, pucuk cengkih yang dihaluskan, minyak cengkeh serta rempah-rempah lainnya seperti jintan, kayu manis, atau pala. Sakarin kemudian ditambahkan pada kertas pembungkus rokok kretek untuk memberikan rasa manis.
Rokok kretek mesin paling banyak beredar di Indonesia, dengan pangsa sekitar 75 persen pasar tembakau Indonesia. Namun rokok kretek lebih berbahaya dibandingkan rokok biasa karena persentase tar dan nikotinnya lebih tinggi - rata-rata rokok kretek mengandung 56 miligram tar dan 2,8 miligram nikotin.
Survei konsumsi rokok harian di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rata-rata merokok antara 6 hingga 10 batang sehari.
Ada beberapa upaya untuk membatasi kebiasaan merokok dalam beberapa tahun terakhir, seperti peningkatan dana pemerintah untuk penelitian medis mengenai dampak merokok terhadap kesehatan. Namun, pemerintah Indonesia selalu mendukung industri rokok kretek dan lambat dalam menerapkan sistem pengendalian tembakau dan perlindungan konsumen yang berfungsi karena industri tembakau merupakan salah satu kontributor perekonomian terbesar di Indonesia.
Bahkan produsen rokok juga merupakan sponsor terbesar dalam kegiatan-kegiatan anak muda, mulai dari olahraga hingga seni. Ironisnya, kegiatan pembinaan bakat olahraga di Indonesia pun banyak didanai oleh perusahaan rokok atau yayasan yang terafiliasi dengan produsen tersebut.
Biaya rokok dan tarif pajak di Indonesia dikenal rendah dibandingkan negara lain. Pada awal Januari 2022, Indonesia akhirnya menaikkan tarif cukai tembakau untuk semua jenis rokok rata-rata sebesar 12 persen.
Namun, langkah ini diambil untuk menghasilkan pendapatan tambahan guna membantu negara tetap bertahan di tengah krisis COVID-19 dan belum efektif dalam mengurangi konsumsi tembakau di Indonesia. Meskipun penerimaan pajak dan kenaikan harga merupakan langkah penting untuk meringankan tekanan yang dihadapi negara ini, pemerintah Indonesia juga perlu fokus pada pengurangan prevalensi merokok.
Fakta bahwa rokok murah merupakan kontributor utama epidemi tembakau di Indonesia juga harus ditekankan. Sebungkus rokok di Indonesia berharga sekitar 18 ribu rupiah untuk rokok kretek dan 24 ribu rupiah untuk rokok putih.
Jalan masih panjang sebelum konsumsi tembakau di Indonesia dapat dikurangi secara drastis. Menetapkan harga rokok minimal ke tingkat yang tinggi serta memberlakukan tarif pajak tertinggi yang sah tampaknya menjadi rekomendasi yang lebih disukai oleh organisasi kesehatan di Indonesia.