Nationalgeographic.co.id—Selain berjuluk Kota Hujan, Bogor juga dikenal sebagai wilayah dengan hari petir terbanyak seperti dilansir oleh Guinnes World of Record pada tahun 2019.
Kombinasi antara tingginya curah hujan yang melimpah dan frekuensi petir yang tinggi memperkuat reputasi Bogor sebagai salah satu kota dengan aktivitas petir terbanyak di dunia.
Ahli meteorologi IPB University, Sonni Setiawan, mengungkap penyebab fenomena banyaknya petir di Bogor. “Petir merupakan salah satu fenomena dalam badai guruh (thunderstorm) berupa kilatan yang terjadi di dalam awan cumulonimbus," jelas Sonni.
"Awan cumulonimbus ini terbentuk akibat adanya gerak konvektif, yakni saat parsel udara lembab bergerak vertikal ke atas akibat gaya apung,” imbuhanya seperti dikutip dari laman IPB University.
Selama proses tersebut, lanjutnya, udara lembap kemudian mengalami pendinginan dan pada akhirnya mengubah uap air dalam parsel udara lembap ini menjadi awan.
“Kumpulan awan konvektif ini bergabung membentuk awan cumulonimbus, dan inilah yang menyebabkan terjadinya badai guruh,” urainya.
Dosen di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA), IPB University, itu memaparkan bahwa gerak konvektif ini tidak bisa terjadi secara spontan. Gerak ini perlu pengaruh (forcing) eksternal yang memberikan impuls bagi parsel udara lembap agar dapat bergerak konvektif.
Forcing ini meliputi turbulensi, topografi, adanya pemanasan radiatif yang tidak merata di permukaan, adanya pegunungan atau gunung yang besar, dan adanya konvergensi skala besar di permukaan.
“Salah satu dari kelima forcing tersebut berinteraksi dengan variasi angin dalam arah vertikal (vertical wind shear) sehingga awan cumulonimbus ini dapat berkembang menjadi badai guruh,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sonni mengungkapkan bahwa petir terjadi ketika terdapat pemisahan muatan listrik di dalam awan cumulonimbus. Hal ini menyebabkan distribusi muatan listrik dalam awan berada dalam kondisi ketidakseimbangannya, sehingga terjadilah loncatan listrik atau petir sebagai upaya menyeimbangkan muatan tersebut.
Mengenai fenomena petir di Bogor, Sonni juga menguraikan bahwa muatan listrik dalam awan cumulonimbus disebabkan karena adanya kandungan senyawa elektrolit dalam droplet (tetes air). Ketika droplet ini bertumbukan satu sama lain, maka terjadi pemisahan muatan listrik dalam awan cumulonimbus.
Senyawa elektrolit ini berasal dari aerosol-aerosol yang terlarut dalam tetes awan. Aerosol ini bisa berupa garam dan senyawa-senyawa polutan.
“Kombinasi dari efek turbulen, perbedaan pemanasan di permukaan, topografi, pegunungan yang besar, dan konvergensi skala besar, dengan wind shear dan keberadaan gas-gas polutan membuat frekuensi kejadian petir di Bogor sangat tinggi,” paparnya.
Selain itu, aktivitas sunspot (bintik hitam di permukaan matahari) dapat meningkatkan aktivitas petir dalam awan-awan cumulonimbus. Sunspot memiliki potensi untuk mempengaruhi aktivitas petir di atmosfer. Akan tetapi, ujar Sonni, perlu dicatat bahwa sunspot memiliki periode 11 tahunan.
Sonni mengatakan, “Fenomena petir di kawasan Bogor belum banyak dikaji secara intensif sehingga hal ini menjadi peluang bagi mahasiswa untuk dapat mengkaji lebih jauh."