Serangan Kekaisaran Persia ke Yerusalem Memantik Pemberontakan Yahudi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 16 April 2024 | 14:02 WIB
Pengepungan Dura Europos oleh Kekaisaran Persia wangsa Sasaniyah pada 256 M. Gejolak antara Persia dan Bizantium mendapat dukungan dari masyarakat Yahudi demi pembebasan Yerusalem. (AMELIANVS/DevinatArt)

Nationalgeographic.co.id—Hubungan Iran dan Israel semakin memanas sejak 1 April 2024. Israel menghancurkan konsulat Iran di Damaskus, Suriah. Iran pun membalas dengan serangan langsung ke Israel pada 13 April. Kedua belah pihak seperti menjadi musuh yang bersitegang sejak lama.

Meski demikian, pada masa yang terlalu lampau, ketika Iran menjadi Kekaisaran Persia yang berganti-ganti dinasti, merupakan sekutu bagi orang-orang Israel kuno. Hubungan bersahabat ini ketika Kekaisaran Romawi Timur mendiskriminasi orang Yahudi di Palestina.

Sejak abad pertama hingga keenam Masehi, setelah Kekaisaran Romawi Timur mengadopsi Kekristenan, umat Yahudi didiskriminasi. Hanya orang Kristen yang boleh tinggal di Yerusalem.

Pemeluk agama Yahudi hanya bisa berkunjung ke Yerusalem setahun sekali pada peringatan Penghancuran Bait Suci. Mereka dipaksa untuk pindah agama. Bahkan, Kaisar Heraklius (bertakhta 610–641 M) bertekad membasmi sisa-sisa ajaran Yudaisme.

Sementara itu, di Iran berdirilah Kekaisaran Persia wangsa Sasan (Kekaisaran Sasaniyah). Komunitas Yahudi di Iran dilindungi, seperti rakyat sendiri oleh Kekaisaran Persia. Mereka punya posisi penting, terutama di beberapa provinsi mayoritas Yahudi. Mereka memiliki pemimpin spiritual dan politik Yahudi.

Ketika Raja Khosrau II (591–628 M) berkuasa, komunitas Yahudi berperan penting, khususnya di bidang perdagangan internasional dan militer. Raja Khosrau II berencana untuk menguasai Yeruaslem.

Rencana bagian dari cita-citanya untuk membangun kembali jejak Kekaisaran Persia kuno era wangsa Akhemeniyah (Persia sebelum Aleksander Agung). Pada masanya, Persia Akhemeniyah pernah berkuasa dari Asia Tengah, India, Yunani, Mesir, sampai Etiopia.

Bagi orang Yahudi, cita-cita meniru prestasi Kekaisaran Persia semasa Akhemeniyah adalah mimpi gemilang. Cyrus II atau Kores Agung (berkuasa 550–530 SM), membangun Kekaisaran Persia Akhemeniyah setelah menguasai Babilonia. Dia juga menguasai Palestina, membangun kembali Bait Suci Yahudi, dan membawa kembali bangsa Israel yang sebelumnya ditahan di Babilonia.

Ambisi perluasan Kekaisaran Persia Sasaniyah mulai berjalan sejak Khosrau I (berkuasa 531–579 M), kakek Khosrau II. Khosrau I berhasil menguasai Himyar atau Yaman modern pada 575 setelah melawan Kekaisaran Etiopia yang beragama Kristen. Berkat perang ini, orang Yahudi Himyar merasa Persia adalah pelindung mereka. 

Melindungi Yahudi Tanpa Jadi Anti-Kristen

Meski demikian, Khosrau II dan pemerintahan Kekaisaran Persia periode Sasaniyah bukan berarti anti-Kristen. Kekaisaran yang beragama resmi Zoroaster ini melindungi agama-agama minoritas, termasuk Yahudi dan Kristen.

Touraj Daryaee dalam Sasanian Persia menegaskan, orang Yahudi dan Kristen telah menerima konsep Iran sebagai bangsa, dan menganggap diri mereka sendiri sebagai bagian dari bangsa tersebut.

Khosrau II awalnya sempat mengadakan hubungan persahabatan dengan Kekaisaran Bizantium. Akan tetapi, pada 602 M, Perang Bizantium-Sasan kembali pecah karena hubungan yang meruncing akibat pergesekan di Armenia. Gesekan ini sudah berlangsung sejak lama.

Perang ini membuat Khosrau II juga bergerak untuk menguasai Palaestina Prima, provinsi Kekaisaran Bizantium di Palestina. Palestina sangat penting baginya. Provinsi ini menawarkan akses langsung ke Laut Mediterania, dan juga jalur perdagangan ke Laut Merah.

Khosrau II juga merekrut pasukannya dari kalangan Kristen dalam Perang Bizantium-Sasan. Perekrutan ini bermotif politik, sebagai upaya menyerap wilayah Bizantium ke dalam wilayah Kekaisaran Persia. Orang-orang Kristen pun menduduki posisi penting ketika peralihan kekuasaan di Timur Tengah.

Kekaisaran Persia Mengepung Yerusalem

Sebelum mengarahkan pasukannya ke Yerusalem, Khosrau II membuat perjanjian dengan pemimpin Yahudi Babilonia untuk penguasaan kota suci tersebut. Komunitas Yahudi menyediakan 20.000 tentara untuk Persia dipimpin Nehemia ben Hushiel, putra dari pemimpin Yahudi di Mesopotamia. Kampanye militer ini tentu mendapat dukungan oleh orang Yahudi lokal di Palestina.

Kaisar Heraklius (bertakhta 610–641 M) menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap orang Yahudi di Kekaisaran Bizantium. Orang Yahudi tidak diperkenankan memasuki Yerusalem, kecuali pada peringatan hari tertentu. Hal ini mendorong masyarakat Yahudi memberontak setelah Kekaisaran Persia menaklukkan Yerusalem. (Giovanni Battista de'Cavalieri/Wikimedia Commons)

Kekaisaran Persia mengepung Yerusalem pada 5 Mei 614 M. Setelah 21 hari, kota ini jatuh ke tangan bangsa Iran dengan menerobos tembok kota dari Gerbang Damaskus modern.

Militer Kekaisaran Persia, yang sebagian merupakan tentara Yahudi, segera menguasai kota. Tidak terelakkan, pembantaian penduduk sipil terjadi sebagai bagian dari standar perang Abad Pertengahan. Kebanyakan adalah orang-orang Kristen, karena kota tersebut dilarang dimasuki oleh orang Yahudi.

Chronicon Paschale, catatan era Kaisar Heraklius menggambarkan situasi tersebut: "Kami mengalami musibah yang patut disesalkan tanpa henti. Sebab, bersama dengan banyak kota di timur, Yerusalem juga direbut oleh Persia, dan di dalamnya ribuan rahib, biarawan, dan biarawati perawan dibunuh."

Serangan ini mendorong komunitas Yahudi memberontak terhadap kekuasaan Kaisar Heraklius. Perang ini membuat kawasan Palestina dan Mesopotamia milik Kekaisaran Romawi Timur jatuh di tangan Kekaisaran Persia.

Selama beberapa tahun berikutnya, meski kelak Persia akan mengalami kekalahan, Yerusalem menjadi kota yang bisa dinikmati oleh pemeluk Yahudi dan Kristen. Gubernur di Yerusalem bahkan digantikan oleh seorang Kristen oleh otoritas Kekaisaran Persia. Banyak dari gereja dan simbol keagamaan Kristen dipulihkan.

Kesenangan Sementara

Sayangnya, kekuasaan Kekaisaran Persia di Yerusalem tidak berlangsung lama. Pada 628, Kekaisaran Persia mulai mengalami kekalahan, karena Heraklius berjuang keras merebut kembali kuasanya atas Mesir, Palestina, dan Suriah. Kekalahan ini juga dipicu dengan ketidakstabilan politik di kalangan Kekaisaran Persia.

"Di tangan orang-orang Kristen yang kembali, komunitas Yahudi harus membayar mahal atas kerja sama mereka dengan Persia," terang Meir Loewenberg, sejarawan Bar-Ilan University dalam When Iran Ruled Jerusalem.

"Secara teori, dari sudut pandang Kristen, nyawa orang-orang Yahudi hilang hanya karena berada di kota tersebut ketika Heraklius tiba, sehingga secara otomatis mengaktifkan kembali hukum Bizantium yang melarang mereka memasuki Yerusalem karena ancaman kematian," urainya.