Riwayat Benteng-Benteng Jawa: Berdiri karena Ketakutan Hindia Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 16 April 2024 | 16:25 WIB
Benteng Van Der Wijck di Kebumen dibangun pada 1818 sebagai salah satu basis militer Hindia Belanda menghadapi ancaman serangan Inggris. Kekhawatiran yang melatarbelakangi penggunaan benteng ini karena hubungan Belanda dan Inggris yang semakin runyam pada 1830an. ()

Sang Gubernur Jenderal pun menyiapkan tiga tempat di pesisir utara Jawa, yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya, sebagai tempat yang memungkinkan armada Inggris berlabuh. Oleh karena itu, Van den Bosch mendirikan benteng pertahanan.

Muhammad Yusuf Efendi, Pengolah Data, Kelompok Kerja Warisan Budaya, dalam buletin Cagar Budaya menjelaskan, benteng-benteng yang dibuat Van den Bosch juga berada di kawasan pedalaman Jawa seperti Ambarawa (Benteng Willem I) dan Gombong (Benteng Van der Wijck).

Van den Bosch mengandalkan rancangan penguraian pertahanan milik Jonkheer Carel van der Wijck, perwira teknisi tempur yang mendapat penghargaan Ksatria Kelas IV dan III Militaire Willems-Orde.

Dari rencana Van der Wijck, benteng-benteng militer Hindia Belanda rencananya dibangun di Bandung, Ngawi, Gombong, dan Melirip. Alasan di kawasan pedalaman ini sebagai upaya mencegah gerakan serangan menjepit dari belakang oleh musuh.

Benteng-benteng Hindia di Jawa

Ada delapan benteng yang akan dibangun. Salah satunya yang paling terkenal adalah Benteng Van den Bosch (Benteng Pendem) di Ngawi yang berada di tepi Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Benteng juga dapat dimanfaatkan sebagai mobilisasi tentara dalam jumlah besar, sekaligus melindungi komoditas tanam paksa dan jalur transportasi.

Beberapa benteng sebenarnya sudah dibangun sejak 1818, seperti Benteng Van der Wijck. Yang lain baru dimulai sekitar 1834. Benteng-benteng ini dijadikan pembahasan tentang pertahanan Jawa oleh Van der Wijck ketika menemui Raja Willem I di Belanda. Pembahasan ini diterima ketika ia kembali ke Jawa pada 1837.

Benteng Pendem Ngawi (Benteng Van den Bosch) dapat menampung 250 pasukan, enam meriam, dan enam kavaleri semasa kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Benteng ini rampung pada 1845 dengan lokasi yang strategis di tengah Pulau Jawa. (Nationaal Archief)

Sayangnya, karena minimnya tenaga ahli di tanah koloni, membuat Van der Wijck melakukan perekrutan dari kalangan kesatuan Zeni KNIL. Selain itu, beberapa tenaga ahli yang dikirimkan dari Belanda rupanya tidak bisa bekerja seperti biasanya. Kemungkinan, faktor lingkungan yang sangat berbeda antara di Jawa dan Belanda.

Dengan demikian, pembangunan setiap bidang dilakukan oleh kontraktor di bawah insinyur militer yang bertanggung jawab.

Proyek pembangunan benteng dimulai dengan pembebasan lahan dengan pemasangan patok. Mereka hanya bisa membangun di tanah milik pemerintah koloni. Setiap tahunnya, Pemerintah Hindia Belanda menyisihkan 60 ribu gulden untuk pembebasan lahan.

Kebanyakan dari tenaga kerja yang digunakan dalam pembangunan delapan benteng era Van den Bosch berasal dari pekerja paksa dan tahanan. Pekerja paksa ini adalah kuli yang merupakan buruh tani Jawa yang dikontrak selama 10 bulan, dan berasal dari desa sekitar lokasi pembangunan.

Benteng Van den Bosch punya kasus unik. Lahan itu berada di kawasan penduduk. Karena terdapat sungai yang menghubungkan Surakarta dan Surabaya, Pemerintah menggusur pemukim desa.

Pekerja untuk benteng di Ngawi ini disediakan oleh Residen Kediri, Jepara, Rembang, Madiun, dan Surakarta yang diminta Pemerintah Hindia Belanda. Para kuli ini tinggal di gubuk-gubuk semi-permanen di sekitar proyek pembangunan.

Hingga saat ini, kedelapan benteng tersebut masih berdiri gagah. Hal yang ditakutkan Van den Bosch akan invasi Inggris ke Jawa tidak kunjung muncul. Setelah berdiri, benteng ini kebanyakan digunakan sebagai basis operasi militer terhadap perlawanan yang muncul seantero Jawa.