Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah manusia, bangsa kuno melakukan modifikasi pada anggota tubuh mereka dengan berbagai tujuan. Bangsa Viking diketahui mengukir lekukan pada gigi seri mereka untuk mendapatkan status atau mengintimidasi musuhnya. Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh bangsa Maya di Amerika Tengah dan suku Zappo Zap di Kongo.
Tapi rupanya, bukan hanya gigi saja yang dimodifikasi oleh bangsa Viking. Saat memeriksa tengkorak Viking dari Pulau Gotland di Laut Baltik, tim peneliti menemukan adanya modifikasi tubuh lainnya. Modifikasi itu luar biasa dan memang sengaja dilakukan.
“Tiga tengkorak telah mengalami modifikasi kepala untuk mencapai bentuk lonjong,” tulis Meg ST-Esprit di laman Atlas Obscura. Tengkorak tersebut milik wanita dewasa yang hidup sekitar 1.000 tahun lalu.
Penelitian dipimpin oleh Matthias Toplak dari Viking Museum Haithabu dan Lukas Kerk dari Westfalische Wilhelms-Universitat Munster. Tim ini mempublikasikan penemuan terbaru mereka di Current Swedish Archaeology.
Toplak mengatakan temuan ini memberikan pencerahan baru tentang bagaimana kelompok Viking berinteraksi dengan peradaban lain.
Modifikasi tengkorak telah terlihat di berbagai belahan dunia dan masih dipraktikkan di beberapa budaya terpencil hingga saat ini. Namun deformasi tengkorak buatan belum pernah dikaitkan dengan budaya Viking sebelum penemuan ini. Toplak dan timnya berhipotesis bahwa praktik tersebut kemungkinan besar terjadi selama perjalanan dagang.
“Kami tidak tahu di mana ketiga wanita ini tumbuh dan di mana kepala mereka berubah bentuk,” jelasnya. Tapi Toplak dan timnya memastikan jika tengkorak itu adalah wanita Viking. Analisis DNA mengungkapkan bahwa mereka berasal dari kawasan Laut Baltik.
“Apakah kepalanya mengalami cacat pada masa kanak-kanak di wilayah sekitar Laut Hitam? Dan bagaimana mereka kembali ke Gotland? Semua itu masih belum jelas,” tulis Toplak.
Tengkorak khusus ini memanjang, yang umumnya dilakukan dengan membalut kepala bayi dengan perban saat tulangnya masih bisa dibentuk. Para dokter saat ini berfokus pada koreksi tengkorak bayi yang cacat akibat plagiocephaly deformasi. Kepala Divisi Bedah Plastik Anak Jesse Goldstein di Rumah Sakit Anak UPMC Pittsburgh menunjukkan minatnya pada praktik bersejarah ini.
“Modifikasi kranial telah lama menarik minat para antropolog dan ahli bedah kraniofasial,” kata Goldstein. “Modifikasi telah tercatat di berbagai budaya sepanjang sejarah, termasuk Mesoamerika, penduduk asli Amerika, Eurasia, dan sekarang, masyarakat Viking.”
Proses deformasi tengkorak seribu tahun lalu kemungkinan besar tidak jauh berbeda dengan proses yang digunakan Goldstein saat ini. Bayi modern dilengkapi dengan helm plastik yang secara perlahan membentuk kembali titik datar dan kelainan bentuk lainnya. Penggunaan helm ini dilakukan selama berbulan-bulan seiring pertumbuhan otak bayi. Banyak budaya sejarah menggunakan perban untuk mengubah bentuk tengkorak secara perlahan dengan cara yang hampir sama.
Jenis modifikasi pasif ini tidak memengaruhi kognisi atau perkembangan. Namun Goldstein mengatakan teknik modifikasi tengkorak yang lebih agresif dapat memberikan tekanan yang tidak semestinya pada otak. Misalnya dengan mendorong tengkorak secara aktif dengan beban atau tali pengikat.
“Jika pendekatan ini dilakukan, hal ini mungkin berdampak negatif pada fungsi otak. Terutama jika dilakukan pada awal masa bayi. Sulit untuk mengetahui secara pasti,” tambah Goldstein.
Tengkorak saja tidak dapat memberi tahu peneliti tentang tujuan modifikasi itu. Tapi tengkorak dapat memberi tahu kita lebih banyak tentang bagaimana praktik berpindah antar budaya dan apa maknanya.
Tengkorak mereka yang berbentuk kerucut kemungkinan besar merupakan tanda status, kata Toplak.
“Kami tidak berpikir bahwa mereka dianggap sebagai anggota elite kerajaan di Gotland karena tengkorak mereka yang cacat. Namun mereka adalah simbol kontak dagang yang luas dan kesuksesan komersial karena penampilan mereka yang eksotis.”
Para wanita yang tinggal di Gotland dengan bentuk kepala yang khas ini jelas terlihat menonjol. Bandingkan dengan sesama Viking yang belum berkesempatan bepergian ke luar negeri dan berinteraksi dengan beragam budaya.
“Masih belum sepenuhnya jelas apakah tengkorak yang cacat itu dimaksudkan untuk melambangkan cita-cita kecantikan tertentu. Atau apakah dimaksudkan untuk mengekspresikan keanggotaan suatu kelompok elite atau sosial tertentu,” tulis Toplak.
“Ada kemungkinan bahwa semua aspek ini terjadi secara bersamaan. Dan tengkorak yang cacat tersebut merupakan ekspresi dari elite sosial dan dengan demikian menandakan status. Serta yang pasti, sebagai daya tarik.”