Penilaian Stereotip Gender Halangi Penyelesaian Kesehatan Mental Murid

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 17 April 2024 | 20:00 WIB
Penanganan kesehatan mental remaja sekolah masih berlandaskan stereotip gender. Perspektif ini memicu ketidakadilan penangan kesehatan mental, dan tidak menawarkan solusi masalah sebenarnya yang dihadapi murid. (Allison Shelley/The Verbatim Agency for EDUimages)

Nationalgeographic.co.id—Sekolah, tempat para remaja belajar secara formal adalah lingkungan yang penuh dengan penilaian identitas gender. Contohnya, Sahabat mungkin pernah mendengar ujaran-ujaran stereotip gender seperti ini:

"Kalau laki, jangan mengadu ke guru BK. Kita selesaikan secara 'jantan'", "Wajar dong, kamu kan perempuan. Biasanya lebih mengerti perasaan orang", atau "Yang boleh cerewet itu perempuan. Kalau pandai bersikap, laki-laki."

Stereotip gender seperti ini umum di sekolah. Tidak hanya keluar dari mulut sesama murid, namun oleh guru atau staf konseling yang menangani kesehatan mental murid.

Stereotip gender memandang anak perempuan dapat dihargai karena keterbukaan dan kedewasaan emosional mereka di sekolah. Stereotip ini didasari pandangan umum bahwa perempuan lebih dewasa secara emosional ketimbang anak laki-laki.

Sementara anak laki-laki, akan lebih dihargai jika menutup tekanan emosionalnya. Sikap mengekspresikan emosional dinilai tidak cocok untuk laki-laki.

Alih-alih mengekspresikan emosinya, mereka lebih "pantas" untuk diam atau berperilaku mengganggu seperti bermain di dalam kelas.

Sebuah penelitian dari University of Exeter mengeksplorasi bagaimana stereotip gender berdampak pada penyelesaian penanganan kesehatan mental di sekolah.

Penanganan berdasarkan stereotip ini membuat penanganan tidak setara, dan tidak menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya.

Temuan ini diungkap dengan wawancara dengan 34 pelajar remaja. Di antaranya ada 17 pelajar di antaranya adalah perempuan, 12 pelajar pria, dan lima pelajar dari gender lainnya.

Selain siswa, peneliti juga mewawancarai 18 staf sekolah, termasuk kepala sekolah, konselor sekolah, dan guru kelas.

Dari hasil wawancara, kesadaran akan kebutuhan kesehatan mental anak laki-laki mungkin terlewatkan di sekolah. Hal ini disadari para murid dan guru. Hal ini membuat anak laki-laki sebagai kelompok yang "berisiko".

Mengabaikan Laki-laki, Menyepelekan Perempuan