Penilaian Stereotip Gender Halangi Penyelesaian Kesehatan Mental Murid

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 17 April 2024 | 20:00 WIB
Penanganan kesehatan mental remaja sekolah masih berlandaskan stereotip gender. Perspektif ini memicu ketidakadilan penangan kesehatan mental, dan tidak menawarkan solusi masalah sebenarnya yang dihadapi murid. (Allison Shelley/The Verbatim Agency for EDUimages)

Mayoritas pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini sepakat bahwa anak laki-laki dan perempuan mengalami kesehatan mental dengan cara yang berbeda.

Hal itu disebabkan stereotip bahwa perempuan lebih terbuka tentang emosi mereka, sedangkan laki-laki menutup-nutupi.

Salah seorang murid laki-laki yang diwawancarai ternyata lebih suka membicarakan kesehatan mental dengan kawannya, alih-alih dengan pihak yang menangani kesehatan sekolah.

Murid tersebut mengaku, berbicara kesehatan mental dengan rekan lebih mudah, ketimbang menyingkap emosi dengan cara ditekan.

"Ada persepsi bahwa anak perempuan lebih diuntungkan dibandingkan anak laki-laki dalam menerima dukungan kesehatan mental," terang Lauren Stentiford, penulis pertama penelitian dari School of Education at the University of Exeter.

Padahal, perempuan juga mengalami ketidakadilan dalam penanganan kesehatan mental di sekolah, terang para peneliti. 

"Para murid dan anggota staf cenderung menempatkan anak perempuan di atas anak laki-laki dalam hierarki dukungan kesehatan mental karena persepsi keterbukaan emosional mereka," terang Stentiford di Eurekalert.

Anak perempuan dipandang lebih dewasa secara emosional dibandingkan anak laki-laki dan akan secara aktif mencari bantuan ketika mereka membutuhkannya," urainya.

Pengungkapan ekspresi mereka bisa dengan menangis atau bahkan menyakiti diri sendiri. Konseling kesehatan mental mungkin bisa ditangani dengan baik, namun cenderung disepelekan karena dianggap terlalu mudah untuk diidentifikasi.

Kesenjangan ini penanganan konseling kesehatan mental ini membuat anak laki-laki diabaikan dan perempuan disepelekan, pada akhirnya membuat mereka "terjebak" dalam stereotip gender.

Pada akhirnya, stereotip gender ini tidak dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatan mental yang sejatinya dihadapi mereka.

Penelitian ini dipublikasikan berupa makalah bertajuk "Mental health and gender discourses in school: “Emotional” girls and boys “at risk”" di jurnal Educational Review, pada 9 April 2024.

“Penelitian ini menunjukkan adanya bentuk ketidaksetaraan gender yang baru dan sedang berkembang, yang bertentangan dengan konteks ‘krisis’ kesehatan mental yang dirasakan semakin meningkat di kalangan generasi muda," ujar Stentiford.