Nationalgeographic.co.id - Banyak peradaban besar dunia tumbuh di sekitar sungai-sungai besar. Seperti Mesir di Sungai Nil, Kebudayaan Mississippi, Peradaban Lembah Indus di Sungai Indus. Sedangkan dalam sejarah Tiongkok, ada dua sungai besar yang berperang penting. Sunga-sungai itu adalah Yangtze (Sungai Panjang) dan Huang He (Sungai Kuning).
Dalam sejarah Tiongkok, Sungai Kuning dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban Tiongkok. Bagaimana sejarahnya?
Sungai Kuning, sang jantung peradaban
Sungai Kuning (Huang He) juga dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban Tiongkok. Sungai Kuning merupakan sumber tanah subur dan air irigasi. Namun di sisi lain, sungai ini juga kerap berubah menjadi aliran deras yang menyapu seluruh desa. Akibatnya, Sunga Kuning juga mendapat beberapa julukan seperti "Kesedihan Tiongkok" dan "Momok Rakyat Han".
Selama berabad-abad, masyarakat Tiongkok memanfaatkan Sungai Kuning tidak hanya untuk pertanian tetapi juga sebagai jalur transportasi. “Bahkan sebagai senjata,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.
Sungai Kuning bermuara di Pegunungan Bayan Har di Provinsi Qinghai, Tiongkok barat-tengah. Sungai ini mengalir melalui sembilan provinsi sebelum mengalirkan lumpurnya ke Laut Kuning di lepas pantai Provinsi Shandong. Sungai ini merupakan sungai terpanjang keenam di dunia, dengan panjang sekitar 6.300 km.
Sungai Kuning mengalir melintasi Dataran Tinggi Loess di Tiongkok tengah, membawa banyak lumpur. Lumpur tersebutlah yang memberi warna pada air dan memberi nama pada sungai tersebut.
Sungai Kuning dalam sejarah Tiongkok kuno
Catatan sejarah peradaban Tiongkok dimulai di tepi Sungai Kuning pada Dinasti Xia, yang berlangsung dari tahun 2100 hingga 1600 SM.
Menurut Records of the Grand Historian dan Classic of Rites karya Sima Qian, sejumlah suku berbeda bersatu ke dalam Kerajaan Xia. Tujuannya untuk memerangi banjir dahsyat yang diakibatkan oleh sungai. Namun serangkaian pemecah gelombang gagal menghentikan banjir. Bangsa Xia menggali serangkaian kanal untuk menyalurkan kelebihan air ke pedesaan dan kemudian turun ke laut.
Mereka bersatu di belakang para pemimpin yang kuat. Kerajaan Xia pun menghasilkan panen yang melimpah karena banjir Sungai Kuning tidak lagi sering merusak tanaman. Kerajaan Xia memerintah Tiongkok tengah selama beberapa abad.
Dinasti Shang menggantikan Xia sekitar tahun 1600 SM dan juga berpusat di lembah Sungai Kuning. Didukung oleh kekayaan tanah dasar sungai yang subur, suku Shang mengembangkan budaya rumit. Mereka memiliki kaisar-kaisar yang berkuasa, ramalan menggunakan tulang ramalan, dan karya seni termasuk ukiran batu giok yang indah.
Selama Periode Musim Semi dan Musim Gugur Tiongkok, filsuf Konfusius lahir di desa Tsou di Sungai Kuning di Shandong. Pengaruhnya terhadap budaya Tiongkok hampir sama kuatnya dengan sungai itu sendiri.
Pada tahun 221 SM, Kaisar Qin Shi Huangdi menaklukkan kerajaan-kerajaan yang bertikai dan mendirikan Dinasti Qin yang bersatu. Raja-raja Qin mengandalkan Kanal Cheng-Kuo, yang selesai dibangun pada tahun 246 SM, untuk menyediakan air irigasi dan meningkatkan panen. Akhirnya, hal itu menyebabkan pertumbuhan populasi dan tenaga kerja untuk mengalahkan kerajaan-kerajaan saingannya. Namun, air Sungai Kuning yang mengandung lumpur dengan cepat menyumbat saluran tersebut.
Setelah kematian Qin Shi Huangdi pada tahun 210 SM, Cheng-Kuo tertimbun lumpur seluruhnya dan menjadi tidak berguna.
Sungai Kuning di Abad Pertengahan
Pada tahun 923 M, Kekaisaran Tiongkok terlibat dalam Periode Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan yang kacau balau. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut adalah Dinasti Liang Akhir dan Dinasti Tang Akhir. Saat pasukan Tang mendekati ibu kota Liang, seorang jenderal bernama Ning memutuskan untuk menerobos tanggul Sungai Kuning. Ia membanjiri 1.600 km persegi Kerajaan Liang dalam upaya putus asa untuk mencegah Tang. Langkah Ning tidak berhasil; meskipun air banjir meluap, Tang menaklukkan Liang.
Selama berabad-abad berikutnya, Sungai Kuning mengalami pendangkalan dan berubah arah beberapa kali. “Hal ini merusak tepian sungai dan menenggelamkan lahan pertanian serta desa-desa di sekitarnya,” tambah Szczepanski. Perubahan rute besar-besaran terjadi pada tahun 1034 ketika sungai terbelah menjadi tiga bagian. Sungai ini kembali mengalir ke selatan pada tahun 1344 pada masa memudarnya Dinasti Yuan.
Pada tahun 1642, upaya lain untuk menggunakan sungai untuk melawan musuh menjadi bumerang. Kota Kaifeng telah dikepung oleh tentara pemberontak petani Li Zicheng selama 6 bulan. Gubernur kota memutuskan untuk mendobrak tanggul dengan harapan dapat menghanyutkan tentara yang mengepung. Sebaliknya, sungai malah membanjiri kota, menewaskan hampir 300.000 dari 378.000 penduduk Kaifeng. Bencana ini membuat mereka yang selamat rentan terhadap kelaparan dan penyakit. Kota ini ditinggalkan selama bertahun-tahun setelah kesalahan yang menghancurkan ini.
Dinasti Ming jatuh ke tangan penjajah Manchu, yang mendirikan Dinasti Qing hanya 2 tahun kemudian.
Sungai Kuning di era Tiongkok modern
Perubahan arah sungai ke arah utara pada awal tahun 1850-an turut memicu Pemberontakan Taiping. Pemberontakan ini merupakan salah satu pemberontakan petani paling mematikan dalam sejarah Tiongkok.
Ketika populasi bertambah besar di sepanjang tepian sungai berbahaya, jumlah korban tewas akibat banjir juga meningkat. Pada tahun 1887, banjir besar Sungai Kuning menewaskan sekitar 900.000 hingga 2 juta orang, menjadikannya bencana alam terburuk ketiga dalam sejarah. Bencana ini turut meyakinkan masyarakat Tiongkok bahwa Dinasti Qing telah kehilangan Mandat Langit.
Setelah Qing jatuh pada tahun 1911, Tiongkok terjerumus ke dalam kekacauan akibat Perang Saudara Tiongkok dan Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Setelah itu, Sungai Kuning kembali membawa bencana, kali ini lebih dahsyat. Banjir Sungai Kuning tahun 1931 menewaskan antara 3,7 juta hingga 4 juta orang. Bencana itu menjadikannya banjir paling mematikan sepanjang sejarah manusia.
Bncana ini kemudian menginspirasi pemerintahan Mao Zedong untuk berinvestasi dalam proyek pengendalian banjir besar-besaran. Termasuk Bendungan Tiga Ngarai di Sungai Yangtze.
Banjir lain pada tahun 1943 merusak pertanian di Provinsi Henan, menyebabkan 3 juta orang meninggal karena kelaparan. Ketika Partai Komunis Tiongkok mengambil alih kekuasaan pada tahun 1949. Mereka mulai membangun tanggul baru untuk menahan aliran Sungai Kuning dan Yangtze. Sejak saat itu, banjir di sepanjang Sungai Kuning masih menjadi ancaman. Namun tidak lagi membunuh jutaan penduduk desa atau menjatuhkan pemerintahan.
Sungai Kuning adalah jantung peradaban Tiongkok. Perairan dan tanah subur yang dimilikinya menghasilkan kelimpahan pertanian yang dibutuhkan untuk mendukung populasi Tiongkok yang sangat besar. Namun, "Ibu Sungai" ini juga selalu memiliki sisi gelap. Ketika hujan lebat atau lumpur menyumbat saluran, Sungai Kuning menyebarkan kematian dan kehancuran ke seluruh Tiongkok tengah.