Kolaborasi Mamah Oday sang Penyintas Kanker dan KEHATI Sebarkan Ilmu Tanaman Obat

By Utomo Priyambodo, Rabu, 1 Mei 2024 | 15:00 WIB
Mamah Oday adalah seorang penyintas kanker yang mampu sembuh berkat tanaman obat dan oleh sebab itulah dia kini gigih melestarikan tanaman obat. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Berbagai jenis produk tanaman obat yang ada di tempat pelatihan KTO Sari Alam. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Sampai saat ini sudah terdapat lebih dari 900 jenis tanaman obat, 418 spesimen koleksi tanaman obat dari 102 famili (suku) dan 341 spesies yang sudah dikoleksi di Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam dengan luasan sekitar 5 hektare. Selain gencar mempromosikan khasiat dari tanaman obat nusantara, Mamah Oday juga aktif mempelajari beragam seluk beluk tanaman obat, baik secara tradisional maupun ilmiah. Delvi Tri Apriantini, putri ketiga Mamah Oday, adalah seorang sarjana farmasi dan apoteker lulusan Universitas Padjajaran yang kini membantu ibunya mengelola dan mengembangkan KTO Sari Alam.

Mamah Oday menuturkan untuk menambah keahliannya, dia pernah menempuh beragam pendidikan pelatihan, mulai dari pelatihan mengenai tanaman obat profesional, tanaman obat kelas pengobatan, diagnosis penyakit dengan cara kedokteran kelas pengobatan herbal, dan meramu jamu sesuai diagnosis kedokteran.

Semangat ini yang membuat KTO Sari Alam menjadi pusat konsultasi dan pengobatan berbasis tanaman obat di Indonesia. Tidak hanya pasien dari dalam negeri, pasien dari luar negeri pun turut berdatangan. Mamah Oday memanfaatkan kebun tanaman obatnya sebagai kebun koleksi, produksi dan klinik tanaman obat. Artinya kebun tersebut memiliki 3 fungsi, yaitu pelestarian, pengambangan dan pemanfaatan.

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos, memberikan sambutan di acara peresmian Tugu Kalpataru untuk Mamah Oday di KTO Sari Alam. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Di sela-sela acara peresmian, Riki mengatakan bahwa Indonesia harus dapat memanfaatkan potensi bioprospeksi Indonesia yang sangat tinggi. Dalam perkembangannya, nilai ekonomi bioprospeksi diperkirakan mencapai USD 500 miliar (Rp 8.137 trilun) per tahun yang mencakup sektor farmasi, produk pertanian, tanaman hias, kosmetik, dan berbagai produk bioteknologi lainnya.

“Keberhasilan bioprospeksi bergantung pada informasi awal yang didapat dari masyarakat lokal (local knowledge) yang secara turun temurun memanfaatkan sumber daya keanekaragaman hayati untuk berbagai kebutuhan. Tak kalah penting, masyarakat harus mendapat manfaat dan memberi persetujuan terhadap pengembangan produksi bioprospeksi ini, sehingga tidak terjadi pembajakan kanekaragaman hayati (biopiracy),” jelas Riki.

Kegiatan penanaman bibit pohon alpukat di Taman Herbal Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam. (Utomo Priyambodo/National Geographic Indonesia)

Tanpa adanya dukungan dari banyak pihak dan payung hukum yang kuat dalam pengelolaan sumber daya genetik, maka masyarakat lokal sulit memperoleh manfaat dari bioprospeksi ini, terutama dari sisi komersial. Alhasil, Indonesia akan berpotensi kehilangan sumber daya genetik yang secara alami menjaga proses-proses ekosistem fundamental.

Pada acara peresmian ini, semua tamu undangan diajak untuk melihat herbarium tanaman obat, serta fasilitas informasi dan pengobatan di KTO Sari Alam. Di akhir perjalanan keliling kebun tanaman obatnya, Mamah Oday mengatakan bahwa penghargaan ini hanyalah bonus dari kerja keras yang dilakukan, dan tugu yang didirikan adalah pengingat bahwa perjuangan harus terus dilakukan agar dapat bermanfaat bagi generasi muda.