Di Ibu Kota Pendudukan Belanda, Nona Setiati Memimpin Perayaan Buruh 1 Mei 1947

By National Geographic Indonesia, Rabu, 1 Mei 2024 | 22:02 WIB
Suasana 1 Mei 1947. Kemeriahan perayaan hari kemenangan buruh sedunia pertama yang dilaksanakan secara terbuka di Jakarta yang saat itu Ibu Kota Pendudukan Belanda. Trem-trem dalam kota dihiasi dengan atribut 1 Mei. (IPPHOS )

Oleh FX Domini BB Hera, Sejarawan dan Dosen Luar Biasa Universitas Ciputra Surabaya

Nationalgeographic.co.id—Jakarta, 1 Mei 1947. Empat puluh tiga tahun sesudah Kartini wafat, seorang pemudi berusia 27 tahun tampil ke muka konsentrasi massa. Ia memimpin sebuah perhelatan besar bangsa Indonesia di tempat musuh.

Tak main-main, ia memberanikan diri menyelenggarakan Rapat Umum 1 Mei di Jakarta, saat ibu kota itu dikuasai Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook. Sementara Presiden Sukarno dan pemerintahan Republik Indonesia telah pindah ke Yogyakarta setahun sebelumnya. 1 Mei 1947 menjadi Hari Kemenangan Buruh Sedunia pertama yang dirayakan secara terbuka dan massal di Jakarta.

Sedari pukul delapan pagi, barisan massa dari berbagai serikat buruh dan jawatan telah berkumpul di depan Balai Agung, pusat pemerintahan RI yang dikepalai Walikota Jakarta Mr. Suwirjo dari pihak Republikein, dengan kibaran bendera merah putih maupun panji-panji serikat buruh masing-masing.

Tidak nampak persiapan yang berarti. Barisan-barisan yang berarakan itu membawa tuntutan dan slogan seputar anti imperialisme, perdamaian dunia, dan perbaikan nasib buruh.

Pukul 8.45 pagi massa diarahkan ke depan Balai Agung hingga tumpah ruah ke lapangan Stasiun Gambir, halaman Hotel Shutte Raaf, dan Willemskerk (kini GPIB Immanuel). Pukul sembilan pagi massa telah berkumpul penuh di sana sini.

Massa yang ramai itu minus buruh-buruh Indonesia yang bekerja pada instansi Belanda, pasalnya mereka tak mendapatkan izin libur 1 Mei. Kantor-kantor milik Republik Indonesia di Jakarta tutup semua. Lagu kebangsaan Indonesia memulai kegiatan itu.

Nona Setiati sebagai Pemimpin Barisan Boeroeh Wanita (BBW) Jakarta, 1947. (Universitaire Bibliotheken Leiden )

Nona Pemimpin Rapat Umum

Pers republik seperti Harian Merdeka 2 Mei 1947 dan Majalah Sadar Djoem’at, 9 Mei 1947 menyebut Nona Setiati, pemudi 27 tahun itu, sebagai ‘Ketua Panitia Hari Perajaan Kemenangan Buruh.’ Wanita kelahiran Banyuwangi, 23 Februari 1920 itu sukses mengumpulkan semua lapisan buruh dari berbagai bangsa yang ada di Jakarta.

Terbukti para pemimpin yang berorasi berturut-turut Nona Setiati; Soewirjo, Walikota Jakarta; Noegroho, Ketua Partai Sosialis Cabang Jakarta; Oh Biang Hong, Tokoh Buruh Tionghoa dan Wakil  Sin Min Hui; Mr. de Graaf, perwakilan buruh Belanda; dan diakhiri Soepranoto. Suara mereka hanya terdengar radius lima meter.

Nona Setiati dalam orasinya menyadari bahwa sekalipun perayaan 1 Mei kali itu tak dapat diselenggarakan dengan gegap gempita namun memperingatinya di tengah-tengah revolusi nasional merupakan keniscayaan.

Momentum 1 Mei dipakai untuk mencari keadilan, persatuan, dan perlambang kebulatan tekad kaum buruh meraih mayarakat yang berperi-kemanusiaan. Pukul 10.15 acara diakhiri dengan menyanyikan Internationale, karya E. Pottier (1816-1887) yang pada tahun 1920 digubah oleh R.M. Soewardi Soerjaningrat, kelak dikenal sebaga Ki Hadjar Dewantara (1889-1959).

Baca Juga: Hari Buruh: Kisah Pilu Pekerja Anak dalam Ingatan Sejarah Dunia

Nona Setiati mampu menggelar perayaan 1 Mei di atas setelah setahun sebelumnya menjadi Pemimpin Barisan Buruh Wanita (BBW) Jakarta. BBW merupakan salah satu organ di bawah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang dihasilkan dari kongres mereka pada 25-26 Januari 1946 di Kediri.

Ketua BBW pusat ialah S.K. Trimurti (1912-2008), kelak Menteri Perburuhan pertama RI (menjabat 1947-1948).  BBW sendiri menjadi wadah istri kaum buruh dan perempuan yang turut mengorganisasi diri untuk perbaikan nasib dan kemerdekaan Indonesia seutuhnya dari kolonialisme Belanda.

Program kerja BBW antara lain aktif dalam badan-badan perjuangan, dapur-dapur umum, kerjasama dengan gerakan-gerakan massa wanita, dan menginisasi pendidikan kader wanita. Setiati menyatakan bahwa BBW selama tahun 1945-1947 aktif mempelopori gerakan wanita berlanggam nasional yang berhaluan pro Republik Indonesia.

BBW Jakarta tahun 1946 turut merayakan peringatan Proklamasi RI pertama dalam intimidasi Inggris. Lantas BBW Jakarta aktif menyelenggarakan Hari 1 Mei sebagaimana BBW di banyak tempat membantu BBI merayakan Hari Kemenangan Buruh.

Riwayat BBW selesai seiring BBW yang melebur ke dalam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) tatkala kongres pertamanya digelar di Malang pada 16-18 Mei 1947. Nona Setiati kemudian menjadi Komisaris SOBSI di Jakarta. Sekali lagi, tugas itu tak mudah karena harus berjuang di daerah yang diduduki Belanda.

Setiati sebagai anggota Konstituante RI, 1956-195. Profil Anggota: Nj. Setiati Surasto. (Syahrul Hidayat dan Kevin W. Fogg/Konstituante.net )

Nyonya Pemimpin Delegasi

Kesetiaan Setiati sebagai aktivis buruh wanita Indonesia melalui SOBSI berlanjut. Kiprah Setiati meroket selama dekade 1950-an hingga pertengahan dekade 1960-an. Jika pada tahun 1947 ia masih disebut Nona Setiati, maka pada periode 1950-an ia telah menjadi Nyonya Setiati Surasto.

Kongres Nasional SOBSI ke-IV memilih Setiati Surasto sebagai Wakil Ketua II Dewan Nasional SOBSI. Pada Konferensi Buruh Wanita Sedunia di Budapes, Hongaria pada 14-20 Juni 1956, Nyonya Setiati Surasto menjadi Ketua Delegasi Buruh Wanita Indonesia. Konferensi ini dihadiri 42 delegasi negara dengan total 497 utusan peserta.

Banyak memorandum, resolusi umum, dan seruan-seruan yang dihasilkan. Beberapa pokok buruh wanita yang mengemuka selama konferensi ialah diskriminasi di tempat kerja seperti posisi buruh lepas, kualifikasi pekerjaan, buruh wanita yang lebih dahulu dipecat dibanding buruh lelaki, promosi yang tidak adil, dan upah yang tak sama di antara buruh pria dan wanita.

Beban yang berlapis di negara- negara yang masih dijajah atau setengah dijajah. Ny. Setiati Surasto melaporkan bahwa di sela-sela agenda konferensi, delegasi Indonesia, Jepang, dan Tiongkok bertukar pikiran untuk menginisiasi Konferensi Buruh Asia Afrika.

Khusus isu kesejahteraan di bidang upah, salah satu pokok konferensi ialah mendesak perluasan ratifikasi konvensi ILO (International Labour Organisation) No. 100 (1951) mengenai persamaan upah buruh wanita dan pria untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950-an (2015) mencatat bahwa gerakan buruh dan gerakan wanita Indonesia telah mendorong pemerintah untuk menyetujui konvensi ILO No 100. Baru pada tahun 1957 pada masa Kabinet Djuanda konvensi itu disetujui pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi negara ke-21 yang meratifikasi konvensi ILO No. 100.

Setiati Surasto juga bergiat mempersiapkan perhelatan-perhelatan buruh wanita lain seperti Seminar Internasional Buruh Wanita di Praha 15-30 September 1957 dan Seminar Nasional Buruh Wanita SOBSI pertama 17-22 Pebruari 1958. Pembentukan Biro Buruh Wanita di internal organisasi SOBSI tak lepas dari perhatiannya.

Setiati Surasto ikut menjadi Pembantu Tetap majalah Bendera Buruh. Ia berhasil mengantarkan edisi pertama Lembaran Buruh Wanita yang terbit pertama kali pada 25 Desember 1958 dengan pengasuh Ting Suwarni. Terakhir, Ny. Setiati Surasto menjabat posisi puncak sebagai Sekretaris GSS (Gabungan Serikat Buruh Sedunia) tahun 1964 yang berkedudukan di Praha.

Fragmen arsip khazanah NEFIS 05267 dari Arsip Nasional Belanda yang berisi laporan peringatan Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia 1 Mei 1946. Perayaan itu digelar secara sederhana di Balai Agoeng Jakarta bersama Menteri Sosial Maria Ulfa. Dalam arsip ini Nona Setiati turut memberi sambutan mewakili Barisan Boeroeh Wanita (BBW). Setahun kemudian ia menjadi Ketua Panitia Perayaan 1 Mei 1947 di Jakarta, yang waktu itu menjadi ibu kota pendudukan Belanda. (Nationaal Archief Den Haag)

Kesetiaan Setiati

Setiati Surasto tutup usia di Stockholm, Swedia 30 November 2006 dalam usia 86 tahun. Pendekar Kaum Buruh Wanita ini mengembuskan nafas terakhir sebagai eksil, jauh dari negeri yang ia cintai dan diperjuangkannya sedari muda. Prahara Gestok 1965 tidak hanya menghilangkan dan mengusir banyak anak bangsa, namun pada batas-batas tertentu merubah keindonesiaan itu sendiri.

Ibrahim Isa (1930-2016), Sekretaris Organisasi Indonesia Setiakawan Rakyat-rakyat Asia Afrika (OISRAA), eksil yang tinggal di Belanda menulis eulogi tentang Setiati Surasto yang epik pada 8 Januari 2007.

Eulogi itu membentangkan sepak terjang Setiati Surasto sedari muda. Saat masih di bangku sekolah menengah, Setiati telah aktif di Indonesia Muda, organ peleburan berbagai Jong-jong pasca Sumpah Pemuda dicanangkan. Setiati yang pernah aktif dalam Jong Islamieten Bond (Persatuan Islam Muda) kemudian menjadi Asisten Ki Hadjar Dewantara hingga Sekretaris GSS (Gabungan Serikat Buruh Sedunia).

Setiati Surasto mantap memilih menjadi pejuang kaum buruh wanita karena ketidak-adilan berlapis-lapis yang dialami perempuan pekerja. Baginya hal itu bagian dari perjuangan menggapai arti kemerdekaan seutuhnya sebagai insan manusia di Indonesia. Ia berjuang baik dalam lingkup nasional dan internasional.

Nama Setiati Surasto meninggalkan cetak biru yang berharga bagi para pejuang kemanusiaan, baik dalam sektor perempuan pekerja maupun buruh pada umumnya. Pada kesetiaan Setiati, perjuangan buruh begitu menginspirasi.

—Tulisan ini pertama kali terbit dengan judul "Di Ibu Kota Pendudukan, Nona Setiati Memimpin 1 Mei" di laman Terakota.id pada 1 Mei 2019. Penerbitan kembali ini dikerjakan dengan revisi disertai pemutakhiran data terbaru.