Nationalgeographic.co.id—Dari hari ke hari, berburu menjadi pekerjaan yang makin sulit bagi Adisi Eboma. Dia telah menjadi pemburu selama lebih dari satu dekade di hutan Lembah Kongo. Namun dalam beberapa tahun terakhir perburuan ini menjadi lebih kompleks karena hewan mangsa berpindah lebih jauh ke dalam hutan dan jumlahnya makin sedikit.
Eboma tinggal di lanskap hutan subur Yangambi, yang terbentang sekitar 8.000 km persegi di bagian utara Republik Demokratik Kongo (RDK). Wilayah ini juga merupakan rumah bagi lebih dari 200.000 orang yang tinggal di komunitas pedesaan yang mata pencahariannya bergantung pada eksploitasi sumber daya alam, termasuk perburuan daging hewan liar dan penangkapan ikan. Namun, karena konflik yang berkepanjangan, pertumbuhan populasi, dan ketergantungan yang tinggi pada sumber daya itu untuk memenuhi kebutuhan hidup, beberapa sumber daya tersebut menjadi langka.
Sebuah studi yang dilakukan oleh CIFOR-ICRAF pada tahun 2018, misalnya, menemukan penurunan tajam spesies hewan tertentu seperti babun zaitun (Orycteropus afer), simpanse (Pan troglodytes), dan kerbau hutan afrika (Syncerus caffer nanus). Meskipun penyebab hilangnya fauna di tingkat lokal beragam, salah satu penyebab paling signifikan adalah perdagangan daging satwa liar. Ini jadi seperti lingkaran setan: berburu daging hewan menjadi semakin sulit karena praktik perburuan itu sendiri merupakan penyebab berkurangnya populasi hewan.
Survei dasar yang dilakukan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa selama 20 tahun terakhir jumlah pemburu di wilayah tersebut telah meningkat secara signifikan. Selain itu, inovasi seperti pembuatan senjata api lokal dan penggunaan head lamp telah meningkatkan jumlah hewan buruan yang dapat diburu setiap orang.
“Masyarakat berburu sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan dari kota-kota tetangga, dan hanya menyisakan sedikit untuk memberi makan keluarga mereka,” kata Nathalie Van Vliet, peneliti asosiasi di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF). Penelitiannya mengungkapkan bahwa para pemburu di lanskap Yangambi menjual hingga 80 persen hasil buruan mereka.
Kelompok bersenjata masuk hutan
Penelitian yang dilakukan CIFOR-ICRAF menunjukkan bahwa kepunahan lokal atau penurunan tajam populasi mamalia di bentang alam Yangambi merupakan akibat langsung dari konflik atau dampak yang bersumber dari konflik antara tahun 1996 dan 2002. Pada saat itu, kelompok bersenjata melewati hutan, berburu makanan, dan memperdagangkan kulit dan daging.
Setelah wilayah tersebut stabil, degradasi perekonomian lokal dan penutupan pabrik serta sumber lapangan kerja lainnya menyebabkan banyak keluarga tidak memiliki pendapatan tetap. Hal ini berarti penduduk terus bergantung pada sumber daya hutan untuk ketahanan pangan dan mata pencaharian.
Dampak pada pola makan
Menurunnya populasi hewan liar dan ikan berdampak negatif terhadap pola makan manusia. Dalam survei gizi terhadap perempuan yang dilakukan di Desa Lileko, misalnya, peneliti menemukan bahwa hanya 3 persen perempuan yang mengonsumsi makanan yang cukup beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.
Konsumsi makanan sumber hewani seperti daging, ikan, unggas dan telur, ditemukan sangat rendah karena perempuan di desa tersebut hanya mengonsumsi sekitar 20 gram makanan tersebut setiap hari, sedangkan komisi EAT Lancet merekomendasikan 84 gram sehari untuk pola makan yang sehat.
Baca Juga: Perburuan dan Perdagangan Satwa: Hukum dan Universitas Harus Bergerak