Lingkaran Setan Perdagangan Satwa Liar dan Krisis Pangan di Kongo

By Utomo Priyambodo, Kamis, 2 Mei 2024 | 16:00 WIB
Penurunan populasi hewan liar akibat perburuan dan perdagangan satwa liar, seperti yang terlihat di pasar Yangambi ini, menyebabkan krisis pangan di Kongo. (Axel Fassio/CIFOR-ICRAF)

“Penelitian kami menemukan bahwa perempuan dan anak-anak di Lileko tidak banyak mengonsumsi makanan hewani,” kata Amy Ickowitz, ilmuwan senior di CIFOR-ICRAF yang memimpin tim Bentang Alam dan Mata Pencaharian Berkelanjutan. “Lebih dari separuh daging yang dimakan adalah daging liar dari hutan dan hampir semua ikan ditangkap secara lokal.”

Adisi Eboma mulai membuka peternakan babi di Yangambi, Kongo, untuk memulai upaya produksi pangan hewani yang berkelanjutan. (Axel Fassio/CIFOR-ICRAF)

Malnutrisi dan krisis pangan

Selama paruh kedua tahun 2020, RDK mengalami krisis pangan terburuk di dunia, menurut Laporan Global tentang Krisis Pangan 2021 dari Program Pangan Dunia (WFP). Sekitar 21,9 juta orang dilaporkan menghadapi darurat atau krisis pangan, sementara 29 juta lainnya hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan minimal jika mereka mengurangi pengeluaran penting di luar makanan.

Situasi kritis ini mempunyai konsekuensi langsung terhadap kesehatan dan gizi masyarakat Kongo. Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 3,4 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami wasting, yang berarti mereka terlalu kurus dibandingkan tinggi badan mereka, dan hampir 5,7 juta anak mengalami stunting, yang berarti tinggi badan mereka berada di bawah rata-rata tinggi badan anak-anak seusia mereka, sementara 41 persen perempuan di usia reproduksi dan 63,2 persen balita mengalami anemia. Anemia, yang dalam banyak kasus disebabkan oleh kekurangan zat besi yang terdapat pada daging, unggas dan ikan, sangat terkait dengan peningkatan risiko kematian ibu dan anak. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kognitif dan fisik pada anak-anak dan mengurangi produktivitas pada orang dewasa.

Solusi produksi berkelanjutan

Untuk mengatasi permasalahan ini, para ahli lokal di CIFOR-ICRAF telah berupaya sejak tahun 2017 untuk meningkatkan ketersediaan pangan hewani yang diproduksi secara berkelanjutan. Dengan dukungan finansial dari Uni Eropa, mereka mendukung pengusaha lokal untuk menciptakan atau meningkatkan bisnis yang dapat memasok sumber protein alternatif untuk memperkaya pola makan lokal, sekaligus menghindari eksploitasi berlebihan terhadap satwa liar dan ikan.

Eboma sang pemburu, misalnya, kini telah membuka peternakan babi untuk mengurangi ketergantungannya pada perburuan. Helene Yenga juga sama, kini sudah punya peternakan babi. Dahulu ia adalah seorang penjual daging hewan liar di pasar mingguan di Kota Yangambi. Ia berharap dapat menjual daging dari hewan yang ia pelihara dan dengan demikian dapat mengurangi perdagangan daging satwa liar.

Akili Mali, sebuah koperasi perempuan yang telah melakukan budidaya ikan di Desa Yanonge, juga mendapat manfaat serupa. Dengan dukungan finansial dan peningkatan kapasitas dari CIFOR-ICRAF, mereka baru-baru ini mengembangkan usahanya dan kini memiliki kapasitas untuk memproduksi 6 ton ikan per tahun.

“Sangat sulit menemukan ikan segar di Yanonge,” kata Fatouma. “Oleh karena itu, kami berkumpul untuk membuat kolam kami dan memproduksi ikan. Kami sekarang telah menerima pelatihan tentang cara menjualnya dan cara mencari klien.”

Secara total, sekitar 200 orang menerima dukungan untuk memproduksi daging dan ikan berkelanjutan, dan targetnya adalah mencapai 250 orang pada akhir tahun 2022, menurut Paolo Cerutti, ilmuwan CIFOR-ICRAF yang mengoordinasikan proyek ini.

“Pendekatan kami menggabungkan pelatihan ad-hoc, dukungan untuk asosiasi, inkubasi dan percepatan usaha, dan peningkatan iklim usaha secara umum,” kata Cerutti. “'Resep' yang kami uji di lanskap Yangambi ini dapat memiliki potensi penerapan yang lebih luas di Kongo dan sekitarnya.”