'Cinta Beracun' Lady Zheng, Empaskan Dinasti Ming ke Jurang Kehancuran

By Ade S, Rabu, 22 Mei 2024 | 20:03 WIB
Potret Kaisar Wanli dan Permaisuri Xiaoduanxian. Artikel ini mengulas kisah cinta beracun Lady Zheng (foto atau lukisan tidak ditemukan) dengan Kaisar Ming yang diyakini para sejarawan telah menjerumuskan Dinasti Ming ke dalam kehancuran. (Unknown author)

Nationalgeographic.co.id—Di balik gemerlap kejayaan Dinasti Ming, tersembunyi kisah cinta tragis Lady Zheng yang mengantarkan dinasti menuju jurang kehancuran.

Artikel ini akan mengupas kisah cinta beracunnya dengan Kaisar Ming, ambisi dan intriknya yang memicu pergolakan politik, dan bagaimana cinta buta dapat membawa akibat fatal.

Lady Zheng, seorang selir yang menawan hati Kaisar Ming, dengan cepat naik pangkat dan mendapatkan pengaruh besar di istana. Kecantikannya memikat, namun ambisinya tak kalah mematikan.

Para sejarawan memercaryai bahwa dia mendambakan putranya menjadi pewaris tahta, dan cintanya yang obsesif terhadap kekuasaan membawanya ke jalan penuh intrik dan manipulasi.

Namun, apakah Lady Zheng pantas disalahkan? Apakah dia benar-benar selir yang ambisius dan licik, atau sebenarnya dia hanya kambing hitam yang tidak bersalah?

Melesatnya "Karier" Sang Selir

Lady Zheng (atau Permaisuri Agung Dowager Xiaoning atau Permaisuri Mulia Zheng atau Zheng Guifei) lahir di Prefektur Shuntian di Distrik Daxing (sekarang Beijing) pada tahun 1568 M (ada juga yang menyebut 1565 M).

Menurut Lily Xiao Hong Lee, Sue Wiles dalam Biographical Dictionary of Chinese Women, Volume II Tang Through Ming 618 - 1644 (2014), Lady Zheng berasal dari keluarga kaya. Dia diberi pendidikan di mana dia belajar membaca dan menulis.

Pada tahun 1581 M, istana kekaisaran mengadakan pemilihan untuk harem Kaisar karena Kaisar Shenzong dari Ming (juga dikenal sebagai Kaisar Wanli) tidak berhasil memiliki putra. Dia mengikuti seleksi dan terpilih menjadi salah satu dari sembilan selir untuk memasuki harem Kaisar.

Setelah Lady Zheng memasuki harem, dia segera menjadi favorit Kaisar Shengzong. Pada tahun 1582 M, dia naik status menjadi Shupin, yang berarti "Selir Murni". Pada tahun 1583 M, dia naik lagi menjadi Defei, yang berarti "Selir yang Berbudi Luhur".

Hingga kemudian pada tahun 1584 M, dia dipromosikan menjadi Guifei, yang berarti "Selir yang Terhormat". Sebutan Guifei inilah yang menurut Caizhong, W. dan Aixiang, S. dalam Notable Women of China: Shang Dynasty to the Early Twentieth Century (2015) paling sering digunakan untuk Permaisuri Agung Dowager Xiaoning dalam teks-teks sejarah.

Baca Juga: Permaisuri Ma Xiaocigao, 'Ibu' Dinasti Ming yang Lahir dari Pembunuh Melarat

Zheng Guifei melahirkan enam orang anak dari Kaisar Shenzong, yang lebih banyak daripada yang dimiliki istrinya yang lain. Anak pertama Zheng Guifei adalah putri kedua Kaisar Shengzong bernama Puteri Yunhe.

Pada 19 Januari 1585 M, ia melahirkan putra kedua Kaisar Shengzong bernama Zhu Changxu. Namun, anak itu meninggal tak lama kemudian. Lalu, pada 22 Februari 1586 M, Zheng Guifei melahirkan putra ketiga Kaisar Shengzong bernama Zhu Changxun.

Kaisar Shengzong sangat gembira atas kelahiran putra ketiganya sehingga dia menjadikan Zheng Guifei sebagai Selir Yang Dimuliakan Kekaisaran, yang merupakan pangkat di bawah Permaisuri. Ini berarti bahwa setelah Permaisuri Wang Xijie, Zheng Guifei adalah wanita paling berkuasa di negara itu.

Perebutan Gelar "Putra Mahkota"

Keputusan tersebut, menurut Keith McMahon dalam Celestial Women: Imperial Wives and Concubines in China from Song to Qing (2016) membuat banyak pejabat istana mengkritik Kaisar Shengzong karena lebih menyukai Zheng Guifei.

Sang Kaisar mendiskusikan kritik ini dengan sekretaris utamanya dengan mengatakan, "Mereka mengatakan saya penuh nafsu dan saya terlalu mengumbar Selir Yang Dimuliakan Zheng. Hanya saja dia merawat saya dengan baik. Ke mana pun saya pergi di istana, dia pasti menemani saya. Dia selalu memperhatikan kebutuhan saya dengan hati-hati, baik siang maupun malam."

Pernyataan Kaisar Shengzong ini menegaskan bahwa belum tentu kecantikan Zheng Guifei yang membuatnya tertarik. Kesetiaan dan perhatiannya padanya lah yang paling disukai Kaisar Shenzong tentang dirinya.

Oleh karena itu, Kaisar Shenzong sangat tulus mencintai Zheng Guifei. Cinta yang mendalam inilah yang akan menimbulkan masalah bagi kekaisaran dalam masalah suksesi.

Selama hampir dua dekade, Kaisar Shengzong menolak untuk menunjuk Putra Mahkota. Ini karena dia mencoba mencari cara untuk menjadikan putra Zheng Guifei, Zhu Changxun, sebagai pewaris.

Namun, Zhu Changxun bukanlah putra tertuanya. Putra tertua adalah Zhu Changluo, yang dia miliki dengan Selir Wang. Tradisi mengharuskan putra tertuanya untuk diangkat sebagai Putra Mahkota.

Kaisar Shenzong pun mencoba melawan tradisi dengan menyatakan bahwa Zheng Guifei adalah ibu yang layak untuk Putra Mahkota. Sebuah pernyatan yang membuat sang kaisar menghadapi banyak pertentangan dari para menterinya sampai dia akhirnya menyerah dan menjadikan Zhu Changluo sebagai Putra Mahkota pada tahun 1601 M.

Baca Juga: Kaisar Xuande: Bawa Dinasti Ming Ke Era Keemasan Usai 'Tumbalkan' 600 Orang Termasuk Pamannya

Zheng Guifei menerima kritik dan kecurigaan dari istana karena upaya Kaisar Shenzong menjadikan putranya sebagai Putra Mahkota. Dia dilihat sebagai "licik, jahat, dan tanpa belas kasihan".

Reputasinya semakin buruk ketika seorang pembunuh menyelinap ke kamar Putra Mahkota untuk menyerang Putra Mahkota dan melukai beberapa kasim.

Meskipun tidak ada bukti substansial, istana mencurigai Zheng Guifei. Zheng Guifei menghadap Putra Mahkota. Dia berlutut dan mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bersalah. Putra Mahkota tersentuh oleh permohonannya dan menganggapnya tidak bersalah.

Cinta yang Hancurkan Dinasti

Pada 7 Mei 1620 M, Permaisuri Wang Xijie meninggal. Dengan posisi permaisuri yang kosong, Kaisar Shenzong ingin mengangkat Zheng Guifei sebagai Permaisuri. Namun, dia meninggal tiga bulan kemudian, pada 18 Agustus 1620 M.

Dia memberikan dekrit anumerta kepada putranya untuk tetap melaksanakan upacara penobatan Zheng Guifei. Namun, putranya menolak untuk melaksanakan dekritnya, dan Zheng Guifei tidak dilantik sebagai Permaisuri Kaisar Shenzong.

Setelah kematian Kaisar Shenzong, sedikit yang diketahui tentang Zheng Guifei. Kita tahu bahwa dia membuat beberapa kaligrafi setelah kematian Kaisar Shenzong. Kaligrafinya digambarkan sebagai "indah dan rapi." Pada tahun 1630 M, Zheng Guifei jatuh sakit dan meninggal tak lama kemudian. Dia dimakamkan di Gunung Yingquan.

Cucu Zheng Guifei, Zhu Yousong, menjadi Kaisar pada tahun 1644 M. Dia menghormati neneknya dengan menjadikannya Permaisuri Agung Dowager Xiaoning secara anumerta.

emerintahan Zhu Yousong tidak berlangsung lama. Pada tahun 1646 M, dia ditangkap dan dibunuh oleh Qing. Segera setelah itu, Dinasti Ming jatuh, dan dinasti baru yang dikenal sebagai Qing didirikan.

Masih belum jelas apakah Permaisuri Agung Dowager Xiaoning tidak bersalah atas tuduhan yang dijatuhkan padanya. Yang jelas adalah Kaisar Shenzong mencintainya. Dia ingin menunjukkan cintanya padanya dengan mencoba menjadikannya Permaisuri dan putranya sebagai Kaisar berikutnya.

Namun, cinta Kaisar Shenzong untuk Permaisuri Agung Dowager Xiaoning ternyata menjadi kelemahan terbesarnya. Cinta telah membuat Kaisar Shenzong menjadi pemimpin yang lemah daripada penguasa yang kuat dan tegas yang dibutuhkan Dinasti Ming.

Banyak sejarawan berpendapat bahwa kisah Permaisuri Agung Dowager Xiaoning menggambarkan kepemimpinan yang lemah para kaisar Dinasti Ming. Karena kebutaan Kaisar Shenzong dalam cintanya pada Permaisuri Agung Dowager Xiaoning, kejatuhan Dinasti Ming dan kebangkitan Dinasti Qing tak terelakkan.

Kisah Lady Zheng menjadi pengingat pahit bahwa cinta yang tak terkendali dan ambisi tanpa batas dapat membawa konsekuensi fatal. Cinta dan ambisinya yang beracun menjerumuskan Dinasti Ming ke jurang kehancuran, menorehkan luka mendalam dalam sejarah dinasti yang gemilang.

Lady Zheng dan Dinasti Ming akan selalu dikenang sebagai contoh tragis bagaimana cinta dan ambisi dapat mengantarkan sebuah kerajaan menuju kehancuran.