Fuentes menjelaskan kepada Live Science bahwa "manusia telah melampaui sekadar menyesuaikan alam untuk membayangkan dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru yang muncul dari jenis rasa ingin tahu tersebut."
Namun, rasa ingin tahu ini datang dengan risiko. Kemampuan manusia untuk membayangkan sesuatu tidak selalu berarti bahwa itu akan berhasil, setidaknya tidak sejak awal. Dalam banyak kasus, kegagalan merupakan bagian penting dari proses pertumbuhan dan pembelajaran.
Sebagai contoh, Twomey mengatakan bahwa banyak bayi yang sudah mahir merangkak memilih untuk mencoba berjalan karena berdiri tegak memungkinkan mereka untuk melihat dan melakukan lebih banyak hal.
Namun, transisi ini tidak tanpa tantangan. Sebuah studi yang mengamati anak-anak berusia 12 hingga 19 bulan yang sedang belajar berjalan menemukan bahwa mereka sering jatuh, rata-rata tujuh belas kali per jam.
Meskipun demikian, berjalan lebih efisien daripada merangkak, yang mendorong bayi yang sudah mahir merangkak untuk beralih ke berjalan, menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Science pada tahun 2012.
Namun, terkadang, eksperimen dengan ide-ide baru dapat berakhir dengan bencana. Fuentes menunjukkan bahwa rasa ingin tahu bisa berakibat fatal, menyebabkan kepunahan sebagian besar populasi manusia.
Sebagai contoh, ia menyoroti orang Inuit di wilayah Arktik dan orang Sámi di ujung utara Eropa, yang telah mengembangkan cara-cara luar biasa untuk bertahan hidup di iklim ekstrem. Namun, ia juga mengingatkan bahwa banyak populasi lain mungkin telah mencoba dan gagal bertahan hidup di lingkungan yang sama.
Pada akhirnya, rasa ingin tahu adalah tentang kelangsungan hidup manusia. Tidak semua individu yang penasaran berhasil mewariskan kecenderungan mereka untuk eksplorasi kepada keturunan mereka, tetapi mereka yang berhasil telah membantu menciptakan spesies yang secara inheren bertanya-tanya, "Hmm, saya ingin tahu apa yang akan terjadi jika..."