Vaksin Jepang yang Mematikan Pekerja Romusha dalam Sejarah Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 23 Juli 2024 | 07:00 WIB
Barisan pekerja paksa Indonesia di bawah Kependudukan Jepang, romusha. Tenaga pekerja keras ini menjadi target eksperimen keji pembuatan vaksin tetanus Jepang yang mematikan. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Bersama anak buahnya, Mochtar dipaksa mengaku di hadapan otoritas bersenjata Jepang setelah ditangkap 7 Oktober. Para staf dipaksa mengaku bahwa vaksinnya mengandung bakteri Clostridium tetani, penyebab tetanus.

Kecerobohan Jepang membuat vaksin tetanus

Kurasawa merasa aneh dengan ragam cerita dari berbagai bukti laporan. "Cerita" yang dibuat dalam laporan Jepang seperti berubah. Begitu pula dengan jumlah orang yang ditangkap semakin menyusut, dan menjuru kepada Mochtar dan Suleman.

"Saya menduga tuduhan kepada Mochtar itu semata-mata untuk menutupi kesalahan dan kegagalan Jepang sendiri," tulis Kurasawa. Vaksin tetanus itu diproduksi Pasteur Institute (sekarang Bio Farma), Bandung yang dikelola Jepang, namun tidak pernah jadi sasaran kecurigaan. "Seolah-olah sudah ada kesimpulan bahwa kesalahannya pasti di pihak Indonesia," lanjutnya."

Mengutip laporan WHO tahun 2017, vaksin tetanus pertama kali ditemukan pada 1924. Penggunaannya semakin banyak ketika Perang Dunia II pecah kepada para tentara. Sejak itu, banyak negara mulai melakukan imunisasi untuk mencegah penyebaran penyakit tetanus yang merebak, termasuk oleh Jepang.

Akan tetapi, ketika perang pecah, Jepang lebih tertinggal untuk produksi vaksin tetanus daripada negara-negara Barat. Selama kependudukannya dalam sejarah Indonesia, produksinya dilakukan Pasteur Institute yang kala itu dinamai Rikugun Boeki Kenkyujo yang dikuasai ahli medis militer setelah menyingkirkan peneliti dan dokter Belanda.

Sejak 1942, Direktur Pasteur Institute adalah Kikuo Kurauchi. Dia dipindahkan dari Unit 731 yang ada di Manchuria, Tiongkok. Kurauchi yang antusias dengan riset vaksin, membuat lembaga ini pun mulai mengembangkan vaksinnya sendiri.

Kurasawa memperkirakan pembuatan vaksin tetanus ini dilakukan dengan berbagai upaya, termasuk kemungkinan menggunakan vaksin lain.

"Ada kemungkinan akhirnya mereka ingin mencoba vaksin itu dengan tubuh manusia dan romusha dipakai sebagai kelinci percobaan," terang Kurasawa. Bisa jadi, lanjutnya, eksperimen yang dilakukan Kurauchi dilakukan dengan mengirim vaksin ke instansi penampungan romusha. Jika gagal, penanganannya adalah kambing hitam dokter, seperti yang terjadi pada Mochtar dan Suleman.