Vaksin Jepang yang Mematikan Pekerja Romusha dalam Sejarah Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 23 Juli 2024 | 07:00 WIB
Barisan pekerja paksa Indonesia di bawah Kependudukan Jepang, romusha. Tenaga pekerja keras ini menjadi target eksperimen keji pembuatan vaksin tetanus Jepang yang mematikan. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Ketika membahas eksperimen vaksinasi mematikan Jepang selama kependudukan di Perang Dunia II, mungkin kasus Unit 731 di Manchuria, Tiongkok, lebih populer. Nyatanya, percobaan vaksinasi ini juga ada dalam sejarah Indonesia selama kependudukan Jepang, dan memiliki kaitannya dengan eksperimen di Manchuria.

Kasus ini terjadi pada 1944, ketika para pekerja paksa (romusha) asal Pekalongan mengalami demam dan kejang—gejala penyakit tetanus—di kamp penampungannya di Jakarta. Beberapa pasien dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang saat bernama Rumah Sakit Ika Daigaku.

Setelah diperiksa dokter, rupanya pasien-pasien ini pernah mendapatkan imunisasi antikolera, tifus, dan disentri—penyakit umum di kamp penampungan. Hal yang dicurigai para dokter adalah dampak imunisasi ini, dan melaporkannya ke dokter senior, Kurusawa. Pesan pun dilanjutkan ke instansi penanganan romusha, supaya imunisasi dihentikan.

Pesan ini diterima oleh Markas Besar Angkatan Darat ke-16 yang memimpin administratif kependudukan Jepang di Jawa. Akan tetapi, pesan itu diabaikan, dan membiarkan imunisasi dilanjutkan pada 7 dan 8 Agustus 1944 di kamp romusha di Klender. Sejarah Indonesia mencatut, jumlah korban malah bertambah.

Pihak militer tidak yakin memahami masalah yang terjadi di RSCM dan perkara vaksinasi tetanus. Sepekan setelah imunisasi ini, tim pemeriksaan militer mengungkapkan bahwa 40 pekerja romusha dari Keresidenan Pekalongan dan 67 pekerja dari Semarang terjangkit penyakit yang sama. Sebagian besar di antaranya meninggal.

Siasat keji kependudukan Jepang

Laporan kematian romusha ini membuat kempeitai, unit bersenjata polisi militer, menginvestigasi. Hasilnya, pada September dan Desember, ada 20 orang yang ditangkap yang berhubungan dengan vaksinasi ini.

Di antaranya adalah Ahmad Mochtar, Pemimpin Eijkman Institute, Jakarta (sekarang, Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman) yang kemudian dihukum mati. Kemudian diikuti Suleman Siregar, dokter yang ditempatkan di kamp romusha untuk pelaksanaan vaksinasi, divonis tujuh tahun penjara, namun meninggal di tahanan.

Masalahnya, kasus penangkapan dan hukuman mati dalam sejarah Indonesia ini tidak punya dasar yang kuat. Sejarawan Jepang Aiko Kurasawa dalam Kemerdekaan Bukan Hadiah Jepang menduga, Mochtar dan Suleman dikambinghitamkan.

Kurasawa menemukan beberapa bukti kuat tentang tindakan kambing hitam ini di arsip-arsip laporan medis militer di Jepang. "Dari dokumen-dokumen ini saya mencium bahwa melalui proses pemeriksaannya di kempeitai, 'cerita' besar mengenai komplotan Ahmad Mochtar 'diciptakan'," tulisnya.

Penyelidikan kempeitai mengarah kepada Suleman yang berada di lapangan. Akan tetapi, pengaruh Suleman terlalu kecil, sehingga pihak Jepang kurang puas dengan hasil investigasi. Oleh karena itu, interogasi berlanjut dengan hasil yang mengungkapkan bahwa vaksin tersebut berasal dari Mochtar.

Baca Juga: Selidik Situs-Situs Penting di Jepang yang Kaya Sejarah dan Budaya

Bersama anak buahnya, Mochtar dipaksa mengaku di hadapan otoritas bersenjata Jepang setelah ditangkap 7 Oktober. Para staf dipaksa mengaku bahwa vaksinnya mengandung bakteri Clostridium tetani, penyebab tetanus.

Kecerobohan Jepang membuat vaksin tetanus

Kurasawa merasa aneh dengan ragam cerita dari berbagai bukti laporan. "Cerita" yang dibuat dalam laporan Jepang seperti berubah. Begitu pula dengan jumlah orang yang ditangkap semakin menyusut, dan menjuru kepada Mochtar dan Suleman.

"Saya menduga tuduhan kepada Mochtar itu semata-mata untuk menutupi kesalahan dan kegagalan Jepang sendiri," tulis Kurasawa. Vaksin tetanus itu diproduksi Pasteur Institute (sekarang Bio Farma), Bandung yang dikelola Jepang, namun tidak pernah jadi sasaran kecurigaan. "Seolah-olah sudah ada kesimpulan bahwa kesalahannya pasti di pihak Indonesia," lanjutnya."

Mengutip laporan WHO tahun 2017, vaksin tetanus pertama kali ditemukan pada 1924. Penggunaannya semakin banyak ketika Perang Dunia II pecah kepada para tentara. Sejak itu, banyak negara mulai melakukan imunisasi untuk mencegah penyebaran penyakit tetanus yang merebak, termasuk oleh Jepang.

Akan tetapi, ketika perang pecah, Jepang lebih tertinggal untuk produksi vaksin tetanus daripada negara-negara Barat. Selama kependudukannya dalam sejarah Indonesia, produksinya dilakukan Pasteur Institute yang kala itu dinamai Rikugun Boeki Kenkyujo yang dikuasai ahli medis militer setelah menyingkirkan peneliti dan dokter Belanda.

Sejak 1942, Direktur Pasteur Institute adalah Kikuo Kurauchi. Dia dipindahkan dari Unit 731 yang ada di Manchuria, Tiongkok. Kurauchi yang antusias dengan riset vaksin, membuat lembaga ini pun mulai mengembangkan vaksinnya sendiri.

Kurasawa memperkirakan pembuatan vaksin tetanus ini dilakukan dengan berbagai upaya, termasuk kemungkinan menggunakan vaksin lain.

"Ada kemungkinan akhirnya mereka ingin mencoba vaksin itu dengan tubuh manusia dan romusha dipakai sebagai kelinci percobaan," terang Kurasawa. Bisa jadi, lanjutnya, eksperimen yang dilakukan Kurauchi dilakukan dengan mengirim vaksin ke instansi penampungan romusha. Jika gagal, penanganannya adalah kambing hitam dokter, seperti yang terjadi pada Mochtar dan Suleman.