Bagaimana Pernikahan Henry VIII dan Anne Boleyn Picu Reformasi Agama di Inggris?

By Sysilia Tanhati, Jumat, 7 Juni 2024 | 08:00 WIB
Pernikahan Raja Henry VIII dengan Anne Boleyn menyebabkan reformasi agama di Kerajaan Inggris. (William Hogarth)

Nationalgeographic.co.id—Ketika Martin Luther menyampaikan keluhannya mengenai Gereja Katolik pada tahun 1517, Raja Henry VIII mengambil keputusan untuk menolak argumen pemimpin Reformasi Protestan tersebut. Paus pun menghadiahi Henry VIII dengan gelar tinggi Fidei Defensor atau Pembela Iman.

Hampir satu dekade kemudian, Henry VIII melakukan hal yang mengejutkan Gereja Katolik dan Kerajaan Inggris. Ia secara tegas memutuskan hubungan dengan Gereja Katolik, menerima peran sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris. Ia bahkan membubarkan biara-biara Katolik yang berada di Kerajaan Inggris.

Apa yang membuat si “Pembela Iman” ini akhirnya mereformasi agama di Inggris? Benarkah pernikahannya dengan Anne Boleyn-lah yang menjadi alasan sang raja bertindak demikian?

Raja Henry VIII ingin keluar dari pernikahan pertamanya

Tanda-tanda awal anti rohaniwan telah muncul di Inggris pada tahun 1520-an. Namun agama Katolik masih mendapat dukungan luas dari masyarakat. “Saat itu Henry VIII tidak mempunyai keinginan dan kebutuhan untuk memutuskan hubungan dengan Gereja Katolik,” kata Andrew Pettegree, profesor sejarah di Universitas St. Andrews.

Menurut Pettegree, Henry VIII juga menikmati kekuasaan besar atas gereja dan pendapatannya.

Namun pada tahun 1527, Henry menghadapi masalah besar. Pernikahan pertamanya, dengan Catherine dari Aragon, gagal menghasilkan seorang putra dan pewaris takhta laki-laki. Henry juga tergila-gila dengan salah satu dayang istrinya, Anne Boleyn.

Anne Boleyn menarik perhatian raja, namun dengan cerdik menolak menjadi gundiknya. Alih-alih menjadi gundik, ia menginginkan posisi yang lebih tinggi.

Pada tahun 1527, Henry VIII menghadapi masalah besar. Pernikahan pertamanya, dengan Catherine dari Aragon, gagal menghasilkan seorang putra dan pewaris takhta laki-laki. (Henry Nelson O'Neil)

Agar bisa menikahi Anne Boleyn, Henry VIII memohon kepada Paus Klemens VII untuk mengabulkan perceraiannya dengan Catherine. Perlu diketahui bahwa perkawinan Katolik tidak mengenal adanya perceraian.

Henry VIII berpendapat bahwa pernikahan itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. Pasalnya Catherine dari Aragon pernah menikah sebentar dengan mendiang saudara laki-laki Henry, Arthur.

Baca Juga: Selain Anne Boleyn, Siapa Kelima Istri Raja Henry VIII Lainnya?

Henry menghadapi politik kepausan yang tidak menguntungkan

Sebenarnya, tidak akan terlalu sulit bagi raja Inggris untuk mendapatkan dispensasi kepausan untuk menyingkirkan istri pertamanya. Lalu menikahi istri lain guna menghasilkan ahli waris laki-laki.

“Ada pemahaman yang jelas di antara keluarga pangeran di Eropa bahwa kelanjutan dinasti adalah prioritas nomor satu penguasa,” kata Pettegree.

Namun situasi tidak berpihak pada Henry. Pada tahun yang sama—1527—pasukan Kekaisaran Romawi Suci menyerang dan menghancurkan Roma sendiri. Mereka memaksa Paus Klemens VII meninggalkan Vatikan melalui terowongan rahasia dan berlindung di Castel Sant’Angelo. Pada saat itu, gelar Kaisar Romawi Suci adalah milik Raja Charles V dari Spanyol—keponakan kesayangan Catherine dari Aragon.

Saat itu, hampir seluruh kepausan berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Suci. Oleh sebab itu, Klemens VII tidak berkeinginan untuk menceraikan Henry dari bibi kaisar. Namun dia juga tidak ingin sepenuhnya menyangkal Henry VIII, jadi dia melakukan negosiasi dengan menteri raja, Kardinal Thomas Wolsey.

Thomas Cranmer dan Thomas Cromwell menemukan solusi agar Henry VIII bisa menikah dengan Anne Boleyn

Pendeta Thomas Cranmer dan penasihat raja yang berpengaruh, Thomas Cromwell, membangun argumen. Mereka meyakinkan bahwa Raja Inggris tidak boleh tunduk pada yurisdiksi paus.

Ingin menikahi Anne Boleyn, Henry menunjuk Cranmer sebagai Uskup Agung Canterbury. Setelah itu Cranmer dengan cepat mengabulkan perceraian Henry dari Catherine. Pada bulan Juni 1533, Anne Boleyn yang sedang hamil besar dinobatkan sebagai Ratu Inggris dalam sebuah upacara mewah.

Pengesahan Undang-Undang Supremasi oleh Parlemen pada tahun 1534 memperkuat perpecahan dari Gereja Katolik. Undang-undang itu menetapkan raja sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris.

Ketika Cranmer dan Cromwell berkuasa dan seorang ratu Gereja Inggris di sisi Henry, Inggris mulai mengadopsi beberapa pelajaran dari reformasi kontinental, kata Pettegree. Salah satunya adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris.

Kerajaan juga bergerak untuk membubarkan biara-biara Katolik di Inggris dan mengambil kendali atas kepemilikan properti Gereja Katolik yang luas dari tahun 1536-1540. Pettegree menyebutnya sebagai redistribusi properti terbesar di Inggris sejak Penaklukan Norman pada tahun 1066.

Baca Juga: Henry VIII, Suami Anne Boleyn yang Suka Otak-atik Aturan Demi Nafsunya

Semua properti yang digunakan oleh Gereja Katolik dikembalikan ke Kerajaan Inggris. Henry VIII menggunakan “rezeki nomplok” untuk memberi penghargaan kepada para penasihatnya atas kesetiaan mereka.

Putri Anne Boleyn menyelesaikan reformasi

Anne Boleyn, tentu saja, gagal menghasilkan putra yang diinginkan. Ia melahirkan seorang putri yang kelak menjadi Ratu Elizabeth I. Pada tahun 1536, Henry jatuh cinta pada dayang lainnya, Jane Seymour. Pada bulan Mei itu, setelah Cromwell membantu merekayasa hukumannya atas perzinahan, inses, dan konspirasi melawan raja, Anne Boleyn dieksekusi.

Pada bulan Oktober 1537, Jane Seymour melahirkan pewaris laki-laki pertama Henry, calon Raja Edward VI. Jane Seymour kemudian meninggal karena komplikasi saat melahirkan 2 minggu kemudian.

Selama sisa hidup Henry VIII, faksi evangelis dan konservatif bergulat untuk mendapatkan pengaruh. Namun setelah kematian Henry VIII pada tahun 1547, pemerintahan singkat putranya akan didominasi oleh para penasihat Protestan evangelis. Mereka memperkenalkan reformasi yang jauh lebih radikal ke dalam pemerintahan Inggris.

Namun Edward meninggal dalam usia muda pada tahun 1553. Dan saudara tirinya yang beragama Katolik, Ratu Mary I, membalikkan banyak perubahan ini selama masa pemerintahannya. Ratu Elizabeth I, putri Anne Boleyn dan penguasa Inggris selama hampir 50 tahun, harus menyelesaikan reformasi yang dimulai ayahnya.

“Perceraian adalah inti permasalahannya,” Pettegree menyimpulkan. “Seandainya tidak ada masalah perkawinan, saya cukup yakin tidak akan ada reformasi agama, setidaknya pada masa hidup Henry.”