Mitos lain yang bersaing, yang berasal dari provinsi selatan Fujian, adalah mitos Wu Zixu, yang juga dianiaya oleh rajanya. Kisah Wu Zixu melibatkan balas dendam, pertempuran yang penuh kemenangan, penyiksaan, dan bunuh diri. Sebagai tindakan terakhir, dia meminta agar, setelah mati, kepalanya dipenggal dan ditempatkan di gerbang kota. Tujuannya adalah agar dia bisa menyaksikan penjajah mengambil alih para pengkhianatnya.
Jenazah Wu Zixu dilempar ke sungai dan amukannya dikatakan menciptakan gelombang pasang yang besar. Karena itu, ia dipuja sebagai dewa sungai di beberapa wilayah Tiongkok. Itulah sebabnya beberapa orang menghubungkannya dengan Festival Perahu Naga.
Namun Qu Yuan menjadi tokoh utama dalam Festival Perahu Naga. Pasalnya, dia adalah seorang penyair polemik produktif. Karyanya dipelajari dan dicintai oleh generasi sarjana Tiongkok setelahnya.
“Salah satu alasan Qu Yuan memenangkan perayaan ini adalah karena kisahnya ditulis dalam teks sejarah—berulang kali,” kata Anderson Turner. Setelah menunjukkan kecintaan terhadap negaranya dan kebencian terhadap kelas penguasa yang tidak ramah, ia dikenal sebagai Penyair Rakyat. Bagi masyarakat Tionghoa, Qu Yuan telah melampaui kisah sederhana tentang pengorbanan dirinya. Kisahnya mewakili perwujudan patriotisme.
Demikian pula, perlombaan Perahu Naga dan zongzi telah menjadi jauh lebih besar dari sekadar hari raya. Di banyak tempat, jika Anda pergi ke jalur air pada Perayaan Perahu Naga, Anda akan menemukan perahu-perahu dengan dekorasi rumit. Perahu itu diawaki oleh dua baris pendayung yang diiringi penabuh genderang yang bersuara keras.
Sebagai bagian dari festival, zongzi pun dapat ditemukan di mana-mana, seperti perahu naga. Semua itu berkat besarnya diaspora Tionghoa. Saat ini Anda bisa mendapatkan bacang atau zongzi di mana saja yang terdapat penduduk Tionghoa. Misalnya, sepanjang tahun di toko serba ada di Chinatown New York hingga di banyak pasar di Indonesia.
Tradisi Peh Cun di Indonesia
Di Indonesia, Festival Perahu Naga dikenal juga dengan sebutan Peh Cun. Peh Cun berasal dari Bahasa Hokkian yang dipendekkan dari Pe Leng Cun atau Pe Liong Cun.
Selain menikmati bacang, ada tradisi menarik yang dilakukan di Indonesia. Salah satunya adalah mencoba mendirikan telur di siang hari saat perayaan Peh Cun digelar. Kegiatan ini dilakukan pada saat matahari berada di atas kepala. Meski terlihat sulit untuk dilakukan, beberapa orang yang mencoba ternyata bisa membuat telur benar-benar berdiri tegak tanpa dipegang. Menurut kepercayaan Tionghoa, hari tersebut adalah hari Twan Yang. Pada hari itu, posisi matahari dan gravitasi bisa mendirikan telur.
Tradisi mendirikan telur adalah sebagai tradisi memiliki makna agar umat menghargai perjuangan yang telah dilakukan para leluhur. Penghargaaan itu dilakukan dengan menjaga alam dan tunduk pada ketentuan yang maha kuasa, serta takwa kepada Tuhan.
Sedangkan di Pangkalpinang, masyarakat beramai-ramai membuang bacang ke laut sebagai simbol penghormatan.
Ribuan tahun berlalu, Festival Perahu Naga masih menjadi salah satu perayaan penting dalam budaya Tionghoa.