Benarkah Belanda Untung Besar dari Penjajahan atas Indonesia?

By Galih Pranata, Senin, 10 Juni 2024 | 10:00 WIB
Potret kuli di Palembang, sekira tahun 1910. Disebut sebagai pekerja murah dengan hasil produksi pertanian yang menguntungkan bagi tuan-tuan Belanda. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—'Indië verloren, rampspoed geboren,' semboyan yang memiliki arti 'Hindia hilang, lahirlah bencana.' Semboyan yang populer di paruh pertama abad ke-20 ini terdengar suram, barangkali benar adanya.

Jika dicermati, dalam banyak litertur sejarah, hilangnya koloni besar akan menjadi pukulan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap 'negara induk' atau negara penjajah. Bisa jadi, hal ini diterima sebagai fakta yang sudah pasti.

Kita sebut Indonesia yang di era kolonial dikenal dengan Hindia, salah satu koloni Belanda terbesar. Sebuah negeri arsipelago dengan kekayaan alamnya, telah menjadi aset berharga bagi Belanda, sebagai negara induknya.

Pada tahun 16 Juli 1599, kapal Gelderland dan Zeeland, di bawah komando Wakil Laksamana Jacob van Heemskerk, mereka memulai perjalanan pulang dengan membawa pala dan bunga pala yang dibeli dari Pulau Banda di Hindia.

Betapa terkejutnya mereka. Ketika sampai di Amsterdam, "rempah-rempah tersebut dijual dengan harga 320 kali lipat dari harga pembeliannya di Pulau Banda!" tulis Ronald Frisart kepada Historiek.

Artikelnya yang berjudul Miljarden stroomden van Indië naar Nederland, diterbitkan pada 20 Februari 2024, menjelaskan bahwa Keuntungan besar ini tak pelak mendongkrak kekuatan finansial perusahaan dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

VOC menjadi salah satu perusahaan dagang terbesar sepanjang sejarah dunia dengan aset kekayaan luar biasa yang dimilikinya.

Setelah VOC runtuh pada tahun 1798, Hindia kemudian jatuh ke tangan negara. Awalnya dari Republik Bataaf dan kemudian, setelah pemerintahan sementara Inggris, dari Kerajaan Belanda.

Kemudian, cultuurstelsel diperkenalkan pada tahun 1830. Hampir seluruh Pulau Jawa menjadi onderneeming, sebuah perkebunan besar dimana para petani harus bekerja keras untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin untuk kas pemerintah.

Pabrik-pabrik raksasa dengan asap keganasannya telah membikin kaya dan makmur masyarakat kulit putih di Eropa sana. Dari Batavia, Semarang, Vorstenlanden, hingga Soerabaia terdapat perkebunan luas dengan pabrik-pabrik raksasa berdiri kokoh.

Potret buah pala, salah satu komoditas yang cukup menjanjikan di abad ke-17. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Kenapa Dalam Sistem Penjajahannya Belanda Menerapkan Monopoli?

Apa yang dibidik Belanda di Hindia Belanda terlihat dari kutipan mencolok pada masa pemerintahan sementara Inggris (1810-1816). Pensiunan profesor sosiologi komparatif, Jan Breman menyebutkan hal itu dalam bukunya 'Kolonialisme en racisme (2023).'

Penguasa Inggris di Hindia Belanda, Thomas Raffles, mempunyai penasihat utama Belanda: Herman Muntinghe. Muntinghe pernah menulis secara blak-blakan kepada Raffles: "…setiap Koloni ada atau seharusnya ada demi kepentingan Ibu Pertiwi (Belanda)."

Di Den Haag, pejabat tinggi kolonial Jean Chrétien Baud dengan sepenuh hati menyetujui hal ini. Breman mengutip apa yang dicatat Baud pada tahun 1826, beberapa tahun sebelum diperkenalkannya cultuurstelsel:

"Mereka sama sekali tidak mendukung emansipasi dan peradaban penduduk asli yang sembrono, yang terlihat jelas di beberapa sistem; Sebaliknya, saya percaya bahwa mereka harus tetap berada dalam masa pertumbuhan selama mungkin, agar pengaruh pihak ayah dapat dengan mudah diterapkan pada mereka."

Setelahnya, Baud menulis kepada Gubernur Jenderal, van den Bosch di Batavia: "Cepat atau lambat kita akan kehilangan koloni, baik karena pemberontakan internal atau serangan asing; Oleh karena itu, seseorang tidak boleh lagi membelanjakan apa pun untuk hal tersebut dan hanya memperoleh apa yang dapat diperolehnya dari hal tersebut."

Semata-mata koloni Belanda yang ditancapkan dengan kukuh di tanah Hindia, berorientasi pada keuntungan finansial bagi Belanda. Dengan kata lain, pertahankan biaya di Hindia serendah mungkin dan peras dana sebanyak mungkin.

Maka demi merealisasi tujuan ini, van den Bosch memperkenalkan cultuurstel. Alhasil, dari penerapan cultuurstelsel, pada tahun 1850-an, program ini telah menyumbang 52% pendapatan pajak Belanda dan sekitar 4% produk domestik bruto.

Kantor pabrik Van Nelle di Semarang sekitar tahun 1930. Jejak digital yang menunjukkan sejarah industri Van Nelle di Hindia Belanda. (Bartele Gallery)

Perdebatan internasional mengenai keuntungan finansial dari koloni menjadi cukup ramai dalam beberapa tahun terakhir. Para ilmuwan terutama berfokus pada abad ke-20, terkadang juga pada akhir abad ke-19.

Para peneliti di tahun 2015, Frans Buelens (University of Antwerp) dan Ewout Frankema (Wageningen University & Research) menghasilkan kumpulan data yang benar-benar baru untuk Belanda.

Mereka menarik kesimpulan tentang keuntungan investasi di Hindia Belanda tahun 1919-1938. Temuan utama dari riset mereka menyebut bahwa investasi di Hindia telah menghasilkan keuntungan 2,5 kali lebih besar dibandingkan investasi di Belanda!

"Berinvestasi di Belanda menghasilkan keuntungan sebesar 2,1% pada tahun 1920-1939, sedangkan di Hindia menghasilkan keuntungan tahunan rata-rata sebesar 5,4% pada periode 1919-1938," imbuh Ronald.

Baca Juga: Di Ibu Kota Pendudukan Belanda, Nona Setiati Memimpin Perayaan Buruh 1 Mei 1947

Menurut para peneliti, perbedaan keuntungan yang signifikan antara Hindia dan Belanda sebagian dapat dijelaskan oleh fakta bahwa investasi di Hindia dianggap lebih berisiko.

Dengan kata lain, di Hindia, hasilnya bisa sangat bervariasi. Dan yang lebih penting lagi, menurut para peneliti, tenaga kerja di Hindia murah bagi investor. Rezim yang keras diterapkan pada pekerja yang dibayar dengan upah murah.

Hal yang juga membantu adalah investor di Hindia Belanda memiliki akses murah terhadap tanah berdasarkan de Agrarische Wet atau Undang-undang Pertanian yang ditetapkan sejak tahun 1870.

Undang-undang tersebut menetapkan bahwa semua lahan terlantar dan tanah yang digarap secara komunal oleh para petani adalah milik negara kolonial. Perusahaan bisa menyewa tanah selama 75 tahun.

Seorang penulis cum penyair Belanda, Everhardus Johannes Potgieter menyatakannya sebagai berikut: "…bayangkan, amit-amit, hal itu akan terjadi! – bayangkan Jawa tidak lagi mencurahkan hartanya ke pangkuan kita."

Proyek besar-besaran telah ditambatkan di Jawa dan menyebar hampir ke seluruh pelosok Hindia. Namun, ketakutan kompeni akan kehilangan Jawa dan Hindia menjadi kenyataan setelah kedatangan Jepang di tahun 1942.

Meskipun kemudian Belanda kembali setelah 1945, Hindia yang telah menjadi Indonesia sudah tak seperti semula. Masyarakatnya tahu apa yang harus diperbuat jika sekali lagi Belanda mengganggu hegemoni kebangsaan. Berperang atau mati demi kedaulatan?!